Korupsi yang Mencederai Demokrasi

Korupsi yang Mencederai Demokrasi

images

SKALA korupsi di negara ini memang tidak mengenal batas. Tidak peduli kebutuhan pembangunan, pendidikan, pangan, bahkan juga proses demokrasi bangsa ikut dicurangi. Inilah yang terjadi pada kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik (KTP-E). Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan adanya aliran dana Rp32,2 miliar.

Dana tersebut dikatakan Nazaruddin jatuh ke mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. KPK sebenarnya sudah menyidik kasus KTP-E sejak dua tahun lalu. Namun, hingga kini mereka baru menetapkan satu tersangka, yakni mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Sugiharto yang juga pejabat pembuat komitmen proyek KTP-E.

Jumlah dana yang diselewengkan bisa saja lebih besar lagi mengingat masih banyak hal dalam kasus ini yang belum diungkap. Namun, satu yang pasti, permainan kotor para pejabat ini menjadi pangkal kekarut-marutan sistem pendataan KTP-E. Bukan permasalahan vendor fisik, server yang digunakan untuk proyek KTP-E pun milik negara lain sehingga database di dalamnya rentan diakses negara lain.

Begitu lemahnya keamanan data merupakan salah satu sebab yang membuat Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sempat menghentikan pembuatan KTP-E. Meski berbagai perbaikan telah dilakukan, dampak kebocoran data tetap saja berlanjut hingga masa depan. Negara ini harus terus menanggung ancaman akan penyalahgunaan data yang sudah telanjur bocor.

Oleh karena itu, pantaslah jika kecurangan pada program KTP-E adalah kejahatan pada negara. Terlebih jika mengingat tujuan awal program ini, yakni upaya negara memperbaiki data kependudukan yang merupakan kelengkapan penting proses demokrasi.

Itu artinya korupsi KTP-E juga telah mencederai demokrasi. Selama ini, kita telah membayar kekarut-marutan data kependudukan dengan proses pemilu yang tidak mulus. Di berbagai daerah dan dari masa ke masa, kecurigaan selalu mengiringi hasil pemilu karena data penduduk kerap berbeda dengan yang ada di lapangan.

Kesalahan berulang itulah yang ingin diputus pada Pemilu 2019. Tidak tanggung-tanggung negara menggelontorkan dana Rp5,8 triliun untuk program KTP-E. Negara pun menegaskan pentingnya KTP-E pada proses pemilu dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan PP Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pada pasal 200 ayat 4 undang-undang tersebut dituliskan bahwa syarat dukungan calon perseorangan ataupun syarat terdaftar sebagai pemilih menggunakan kartu tanda penduduk elektronik terhitung sejak Januari 2019.

Nyatanya para pejabat dan tokoh publik yang semestinya menjadi penggerak demokrasi justru menjadi maling terbesar. Oleh karena itu, kita mendorong KPK untuk mengungkap kasus ini sepenuhnya dan secepatnya. Nama-nama yang telah disebutkan diduga menerima aliran dana dalam proyek KTP-E harus segera disidik, termasuk pula para kaki tangan mereka.

Sumber: mediaaindonesia.com

Manager Program & Pemberitaan : Hendra Ray

Admin : Ade

Komentar Anda

komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll To Top
Request Lagu
Loading...