Menegakkan Prinsip Taat Asas

Menegakkan Prinsip Taat Asas

1POJOK REDAKSI – PARTAI politik merupakan instrumen mahapenting bagi demokrasi. Ia memegang sejumlah fungsi vital, yakni tempat mengartikulasikan kepentingan, agregasi kepentingan, rekrutmen politik, serta sosialisasi dan komunikasi politik. Namun, tidak sepenuhnya fungsi ideal tersebut sanggup dimainkan parpol di Indonesia.

Alih-alih memperkuat fungsi-fungsi penting itu, parpol di negeri ini justru kerap kedodoran karena sibuk dengan persoalan internal. Itu pula yang kini melanda Partai Golkar. Partai yang sudah berusia lebih dari setengah abad tersebut tak kunjung mampu menyelesaikan konflik di tubuh sendiri.

Dualisme kepengurusan yang sudah berlangsung satu setengah tahun memang telah berakhir setelah Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mencabut surat keputusan kepengurusan Golar hasil Musyawarah Nasional Ancol yang diketuai Agung Laksono. Namun, seiring dengan berakhirnya dualisme, Golkar justru berada pada situasi pelik karena mengalami kevakuman kepengurusan.

Menkum dan HAM hanya mencabut SK kepengurusan Munas Ancol, tetapi tidak mengesahkan kepengurusan hasil Munas Bali di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie. Lebih celaka lagi, kepengurusan hasil Munas Riau yang menjadi rujukan jika dua versi munas tidak disahkan telah berakhir pada 31 Desember 2015 lalu.

Praktis, tidak ada satu kepengurusan pun di Partai Golkar yang disahkan negara. Itu artinya, segala produk atas nama Partai Golkar saat ini tidak memiliki landasan hukum alias ilegal. Maka, untuk institusi DPR, bersiap-siaplah berjalan tanpa ada ketua. Kursi Ketua DPR yang kosong setelah ditinggal politikus Golkar Setya Novanto tidak bisa diganti begitu saja oleh politikus Golkar lainnya karena tak ada satu pun kepengurusan sah partai beringin itu.

Begitu juga dengan Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, tidak bisa sekonyong-konyong diberikan kepada Setya Novanto. Bahkan, amat mungkin ditafsirkan bahwa seluruh kepala daerah terpilih yang disokong Golkar tidak boleh dilantik karena mereka direkomendasikan pengurus partai yang tak berlegitimasi.

Begitulah, ketika parpol tidak sanggup membereskan rumah tangganya sendiri, dampaknya tidak sekadar menimpa partai tersebut, tapi juga publik. Sebagian bangsa ini tersandera oleh sikap egoistis elite partai. Kendati politik tidak bisa dipisahkan dari urusan kalah dan menang,  politik yang dinaungi keadaban tidak semata-mata menjadikan kalah dan menang sebagai harga mati.

Dalam politik yang beradab, masih ada idealisme dan kerelaan berkorban demi kemaslahatan rakyat dan bangsa. Karena itu, mengingat implikasi yang luas dari perseteruan internal Partai Golkar, ada baiknya elite partai tersebut memilih jalan musyawarah bersama, alias munas. Itu jika Golkar ingin tetap eksis sebagai bagian penting dalam menegakkan demokrasi di negeri ini.

Namun, bila elite Golkar memilih menolak munas, itu berarti mereka memilih bermain di ruang kosong. Dengan begitu, aturan hukum mesti ditegakkan dengan cara menolak segala produk politik yang diajukan oleh Golkar, termasuk pengajuan para calon pengganti pimpinan dewan dari Golkar. Demokrasi yang sehat mensyaratkan tegaknya prinsip taat asas, khususnya dari partai politik. Tanpa itu, demokrasi akan terjebak menjadi anarki.

Komentar Anda

komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll To Top
Request Lagu
Loading...