Menguji Politik Kesukarelaan

Menguji Politik Kesukarelaan

DEMOKRASI sejati dibangun di atas fondasi partisipasi atau kesukarelaan, bukan mobilisasi atau keterpaksaan.

Keberhasilan Teman Ahok menghimpun satu juta kartu tanda penduduk untuk mengusung Basuki Tjahaja Purnama pada Pilkada DKI 2017 sejauh ini merupakan wujud nyata demokrasi partisipatif.

Keberhasilan itu menunjukkan kemajuan luar biasa dalam demokrasi kita.

Ia menggeser pendulum demokrasi partai politik yang biasanya mengandalkan mobilisasi menuju demokrasi calon perseorangan yang menyodorkan partisipasi.

Dukungan melalui satu juta KTP itu memang masih harus melalui proses verifikasi.

Verifikasi penting untuk membuktikan dukungan itu benar, bukan palsu.

Di sinilah letak tantangan berikutnya bagi Teman Ahok, apakah mereka rela menjalani verifikasi.

Itu artinya verifikasi dukungan terhadap Ahok juga merupakan verifikasi atas politik kesukarelaan dan demokrasi partisipatif.

Kita berharap para pendukung Ahok rela dan sukses menjalani verifikasi.

Kesuksesan verifikasi tentu akan mengantarkan Ahok menjadi kandidat perseorangan.

Bila Ahok menang, itu menunjukkan demokrasi partisipatif sungguh-sungguh bekerja dalam demokrasi kita.

Ujian lain datang dari indikasi adanya aliran dana dari pengembang kepada Teman Ahok.

Jika itu terbukti, politik kesukarelaan tercederai karena boleh jadi ada kepentingan pengembang di dalamnya.

Bila tidak terbukti, sekali lagi, politik kesukarelaan dan demokrasi partisipatif betul-betul bekerja.

Di sisi lain, parpol tak bisa menutupi kecemasannya menyaksikan gelombang partisipasi dukungan terhadap calon independen seperti Ahok.

Parpol seperti tengah dihadapkan pada pilihan mendukung Ahok atau kukuh mencalonkan kandidat sendiri.

Sejumlah parpol, yakni NasDem, Hanura, dan Golkar, memilih mendukung Ahok sebagai calon independen.

Mereka realistis ada calon independen yang mendapat dukungan besar dari rakyat dan memilih lebih baik mendukung calon tersebut.

Parpol-parpol tersebut memahami kehendak rakyat.

Parpol lain kukuh bahwa parpol semestinya punya calon sendiri.

Mereka menilai apolitis bila parpol mendukung calon independen.

Akan tetapi, demokrasi kita mengizinkan tampilnya calon independen, selain calon yang diusung partai.

Juga, tidak ada aturan yang melarang parpol mendukung calon independen atau harus mengusung kandidat sendiri.

Itu artinya mendukung calon independen sama demokratisnya dengan mengusung calon sendiri.

Parpol yang kukuh mengusung calon sendiri juga beranggapan calon independen akan kehilangan dukungan DPRD ketika ia menang dalam pilkada.

Dalam kasus Ahok, bila ia menang lewat jalur independen, anggota DPRD dari parpol-parpol yang mendukungnya tentu akan meneruskan dukungan mereka.

Lagi pula, bila DPRD tidak mendukung Ahok, sementara kebijakan yang diambilnya maslahat buat rakyat, DPRD pasti akan berhadapan dengan rakyat.

Perlawanan rakyat terhadap DPRD akan semakin dahsyat karena Ahok adalah gubernur independen yang didukung oleh rakyat.

Ahok belakangan mengatakan dirinya membuka ruang untuk maju melalui jalur parpol, selain jalur independen.

Bagaimanapun akhir dari drama pencalonan Ahok, pelajaran berharga bagi kita, terutama parpol, ialah betapa pentingnya memajukan demokrasi kita dari demokrasi yang mengandalkan mobilisasi menuju demokrasi yang mengedepankan partisipasi.

– See more at: http://www.mediaindonesia.com/editorial/read/773/menguji-politik-kesukarelaan/2016-06-20#sthash.Oy4JGJYU.dpuf

                                                                                                                    Admin Wibesite : Musly Joss Start

Komentar Anda

komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll To Top
Request Lagu
Loading...