Mendefinisikan Politisasi Agama

Pojok Redaksi- PILKADA DKI 2017 memberi pelajaran berharga betapa politisasi agama menyebabkan polarisasi tiada akhir di masyarakat. Ini bukan soal tak bisa move on, tetapi kita memang harus menjadikan Pilkada DKI 2017 sebagai arena pertarungan politik agama terakhir supaya perpecahan di masyarakat lekas berakhir.

Akan tetapi, politik identitas yang menonjolkan isu berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) diperkirakan kembali menggejala terutama di Pemilu Presiden 2019. Langkah antisipasi mesti dioptimalkan, termasuk dengan menyempurnakan regulasi terkait dengan penggunaan isu SARA.

Politisasi SARA, terutama agama, selain rentan menimbulkan perpecahan, membuat masyarakat teralihkan dari yang seharusnya melihat kualitas serta program kandidat menjadi sekadar menengok identitas-identitas primordial yang melekat pada diri sang kandidat.

Padahal, tidak ada jaminan bila, misalnya, kandidat penganut agama tertentu atau berasal dari etnik tertentu pasti merupakan pemimpin hebat. Meminjam kritik antropolog budaya Sumanto Al-Qurtubi dalam satu diskusi di Jakarta kemarin, toh ketika Jakarta dipimpin orang yang menang karena politisasi agama, sungainya malah menebarkan bau busuk dan Tanah Abang semrawut dengan pedagang kaki lima.

Baik secara terselubung ataupun terbuka, bahkan sejak menjelang Pilpres 2019 pun dalil-dalil agama masih sering dipolitisasi untuk ‘menembak’ lawan politik. Itu sesungguhnya bertentangan dengan aturan perundang-undangan. Aturan menggariskan larangan menggunakan isu SARA dalam kontestasi politik.

Politisasi agama digemari karena ia cara paling praktis, murah, dan gampang untuk merebut emosi dan simpati rakyat, tetapi rasionalitasnya diragukan. Kandidat juga enggak perlu hebat-hebat amat. Yang penting didukung tokoh-tokoh agama yang siap menjajakan ayat dan fatwa untuk kepentingan politik, seorang kandidat bisa terpilih. Atau, bila piawai mencitrakan diri sebagai penganut agama yang taat, kandidat bisa merebut kekuasaan.

Selama ini regulasi mengenai SARA di pemilu diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 menggariskan pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain. Mereka diharamkan pula menghasut dan mengadu domba.

Beleid tersebut dinilai tidak cukup untuk menjadi tameng menindak politisasi SARA, terutama politisasi agama. Itu disebabkan tidak ada kriteria jelas dan tegas, juga belum ada definisi tentang yang dimaksud dengan politisasi agama.

Bila, misalnya, seseorang mengatakan, ‘Saya muslim dan saya memilih pemimpin muslim’, apakah itu politisasi agama? Apakah ketika perkataan itu disampaikan di ruang publik itu bisa dikategorikan politisasi agama?

Itulah sebabnya pekan lalu Badan Pengawas Pemilu meminta Komisi Pemilihan Umum menetapkan definisi politisasi SARA. Tujuannya tiada lain supaya Bawaslu lebih mudah mengawasi dan menindak politisasi SARA.

Definisi tersebut mesti dicantumkan dalam regulasi, misalnya peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Regulasi membatasi orang melakukan politisasi agama. Jika ada yang menerabas batas, tinggal ditindak.

Cendekiawan muslim Ahmad Syafii Maarif punya definisi politisasi agama. “Gampang saja definisinya. Politisasi agama ialah penggunaan agama untuk tujuan politik tanpa moral, etika, dan akal sehat,” kata Buya Syafii Maarif dalam satu diskusi di Jakarta, kemarin.

Pemangku kepentingan bisa mempertimbangkan definisi Buya. Jika definisi Buya itu yang dipakai, spanduk yang dipasang di rumah-rumah ibadah yang mengharamkan orang menyalatkan jenasah yang semasa hidupnya memilih Ahok pada Pilkada DKI 2017 jelas politisasi agama dan pelakunya bisa ditindak. Politisasi agama seperti itu jelas tidak bermoral dan melawan akal sehat.

Buya betul. Politisasi agama sering kali tidak bermoral, tidak beretika, dan melawan akal sehat. Definisi Buya juga menyiratkan bahwa agama seharusnya ditempatkan secara terhormat sebagai acuan moral dalam berpolitik supaya yang terpilih pemimpin politik berkualitas.

Jika menjadikan agama sebagai acuan etika, publik akan mampu mengedepankan rasionalitas dalam menentukan pilihan politik. Berdasarkan penelitian Saiful Mujani dkk terhadap perilaku pemilih muslim sejak Pemilu 1999 sampai Pemilu 2014, para pemilih muslim pada dasarnya semakin religius dalam beragama, tetapi cenderung rasional dalam pilihan politik.

Elite politiklah yang sering kali mengaduk-aduk emosi rakyat pemilih melalui politisasi agama. Regulasi dengan definisi yang tegas tentang politisasi agama menjadi penting untuk membikin jera elite tunamoral seperti itu supaya kita bisa segera move on dari sejarah kelam Pilkada DKI 2017.

Sumber : mediaindonesia.com

Komentar Anda

komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll To Top
Request Lagu
Loading...