Panyabungan, StArtNews-Kelahiran bayi cacat dengan kelainan otak di luar tempurung kepala (Anenchepali) asal Desa Lancat, Kecamatan Lingga Bayu, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Senin (18/11) cukup menggemparkan masyarakat hingga ke jejaring media sosial.
Kelahiran anak malang berjenis kelamin perempuan dari pasangan Desmi (35) dan Soki Batubara (43) saat ini masih dalam perawatan dokter spesialis anak di RSUD Panyabungan. Sebab kelahiran bayi cacat ini pun kini menjadi topik pembahasan yang pro dan kontra, dengan menghubungkan kejadian terkait aktivitas tambang rakyat tanpa izin yang banyak menyebar di berbagi kecamatan yang ada di Madina.
Menanggapi hal ini, Ketua Demisioner Ikatan Mahasiswa Muslim Mandailing Natal (IM3); Aspuddin Lubis, S. Pd, kepada wartawan, Selasa (19/11) meminta supaya semua elemen masyarakat bijak dalam menyikapi kejadian dan jangan memberikan komentar yang bisa memunculkan permasalahan yang baru. Kelahiran bayi cacat belum tentu karena dampak tambang rakyat, tapi bisa juga karena faktor ekonomi sehingga asupan gizi bagi ibu mengandung dan anak yang di dalam kandungam tidak memadai.
“Intinya kesehatan masyarakat itu dominan dipengaruhi faktor ekonomi kemudian disusul faktor keturunan. Karena itu secara pribadi, khawatir kejadian bayi lahir cacat ini hanya dijadikan pintu masuk bagi pemerintah untuk menutup sepihak tambang rakyat di Madina yang sudah berjalan lebih 10 tahun,” ujarnya.
Artinya kata Aspuddin Lubis, S. Pd, ribuan masyarakat Madina saat ini tidak bisa dipungkiri banyak bergantung menyambung hidup dari hasil bertambang.
“Meski kita tahu bahwa tambang liar ini penuh risiko, tapi tetap saja mereka pilih karena tuntutan hidup dan minimnya lapangan pekerjaan dari pemerintah yang diperparah dengan harga komoditi kebun masyarakat yang anjlok di pasaran,” ungkapnya.
Semua pemangku kepentingan di Madina harus jeli dalam memandang munculnya persoalan bayi lahir cacat ini, karena apabila salah ambil langkah bisa menimbulkan konflik sosial. Kemudian juga harus di pahami bahwa praktik tambang tradisional yang populer disebut tambang liar di Madina ini cara kerjanya semua tidak sama.
Wilayah Mandailing Julu (Kotanopan, ulu pungkut, dan Muarasipongi) misalnya melakukan penambangan tradisional dengan cara manggore (mendulang) di sungai. Di wilayah Pantai Barat (Batang Natal, Lingga Bayu, Sinunukan, Ranto Baek, dan Muara Batang Gadis) menggunakan mesin dompeng di pinggiran sungai dan juga lokasi kebun.
Kemudian di wilayah Mandailing Godang (Hutabargot, dan Naga Juang) ini menggunakan alat mesin bor jenis Jack Hammer dengan kapasitas tinggi karena harus mengebor bebatuan. Di wilayah Mandailing Godang ini sebenarnya aktivitas tambang tradisional yang paling berbahaya karena selain tinggi menggunakan bahan mercuri, juga penambang harus melobang perut bumi sepanjang ratusan meter dengan sistim sumur dan jarum.
Karena itu wilayah tambang rakyat di Kecamatan Hutabargot dan Kecamatan Naga Juang telah banyak menelan korban nyawa manusia baik karena keracunan zat asam tanah, dan juga karena tertimbun lubang tambang yang jatuh. Namun meski banyak yang sudah jadi korban, aktivitas tambang tradisional ini tidak bisa dihentikan karena urusan perut masyarakat.
Di sisi lain, pemerintah (Eksekuif – Legislatif) yang diharapkan tampil di depan untuk mewujudkan tambang rakyat resmi justru tidak berujung sampai saat ini, padahal gagasan mewujudkan tambang rakyat dengan sistim koperasi sudah pernah digagas sekitar tahun 2009-2010 lalu. Namun lagi-lagi program tersebut seakan hilang tidak berbekas.
“Intinya masyarakat juga ingin berusaha dengan nyaman untuk hidup yang lebih layak. Namun masyarakat tidak akan bisa mencapai hal itu tanpa ada keseriusan dari pemerintah. Karena itu kita dari IM3 berharap pemerintah bijaksana dalam hal ini,” ucap Aspuddin Lubis.
Reporter: Z Ray
Editor: Hanapi Lubis