Panyabungan, StartNews – Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Mandailing Natal (Madina), angka penderita stunting di Madina saat ini hanya 8,0 persen. Data ini berdasarkan Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (EPPGBM). Bahkan, pada akhir tahun 2022, persentase itu ditargetkan bisa turun menjadi 6 sampai 7 persen.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat (Kesmas) Dinas Kesehatan Madina dr. Nondang Eflita menyebutkan berdasarkan data terakhir yang mereka miliki, jumlah anak balita (bawah lima tahun) di Madina sebanyak 28.831 jiwa. Dari jumlah itu, sebanyak 1.618 jiwa atau 8,0 persen di antaranya menderita stunting.
“Secara keseluruhan angka stunting di Madina belum mengkhawatirkan. Bahkan, kami optimis angka 8,0 persen masih bisa ditekan pada akhir tahun ini,” kata Nondang, Rabu (9/2/2022).
Nondang menjelaskan hal itu sehubungan adanya pernyataan Kepala Perwakilan BKKBN Sumut Muhammad Irzal kepada Gubernur Edy Rahmayadi yang menyebutkan angka stunting di Madina sudah tahap mengkhawatirkan karena mencapai 47,7 persen.
“Ada 12 kabupaten/kota di Sumut angka stuntingnya di atas 38 persen. Dan yang mengkhawatirkan itu di Mandailing Natal, mencapai 47,7 persen,” ujar Irzal kepada Gubernur Edy Rahmayadi, Senin (7/2/2022).
Nondang tidak menyalahkan data BKKBN. Namun, pihaknya perlu memberi penjelasan agar masyarakat memahami kondisi riil penderita stunting di Madina.
“Data BKKBN yang menyebutkan angka stunting di Madina 47,7 persen tidak akurat. Dengan kata lain, margin error-nya tinggi,” ujar Nondang didampingi Lesti Mafitri, kepala Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Manusia Kantor Bappeda Madina, dan Hotmadeli Siregar, kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Masyarakat.
Dia menyebutkan, Survey Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dilakukan BKKBN hanya dilakukan secara random terhadap 22 desa dari 23 kecamatan. Sementara di Madina ada 404 desa/kelurahan. “Jumlah sampel-nya sangat kecil,” katanya.
Saat petugas BKKBN melakukan SSGI, kata Nondang, mereka berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Madina. Saat itu, petugas survei yang turun ke desa berpenampilan seperti mahasiswa. Setelah mengambil sampel, langsung entry data secara online ke pusat.
Proses pengambilan data itu dinilai kurang menggambarkan kondisi riil di lapangan. Untuk melihat data stunting sebenarnya harus berdasarkan EPPGBM (Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat).
“Ini yang sebenarnya kami lakukan di Dinas Kesehatan Madina. Ada ukur timbangnya di setiap Posyandu. Saat ini jumlah Posyandu ada 420-an,” jelas Nondang.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Madina, pada tahun 2020, penderita stunting ada di 20 desa atau locus stunting. Locus stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis, terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).
Ke-20 desa tersebut terdapat di tujuh kecamatan, yaitu: Kecamatan Pakantan (4 desa), Muarasipongi (2), Tambangan (3), Hutabargot (2), Ulupungkut (1), Batangnatal (5), dan Muara Batang Gadis (3).
Pada 2021, penderita stunting terdapat di 20 desa dari tiga kecamatan, yaitu: Ulupungkut (7 desa), Kotanopan (2), Tambangan (11).
Sedangkan tahun 2022, penderita stunting ada di delapan kecamatan meliputi: Kotanopan (1 desa), Hutabargot (4), Pakantan (7), Panyabungan (1), Muara Batang Gadis (1), Rantobaek (1), Batang Natal (1), dan Siabu (1).
“Target pemerintah pusat pada 2024 angka stunting bisa ditekan sampai 14 persen. Mudah-mudahan targer itu bisa kita capai. Sekarang saja sudah 8,0 persen. Ini sudah bagus. Kalau sampai nol persen, saya kira tidak mungkin,” kata Nondang.
Sesuai hasil EPPGMB pada dua tahun terakhir, jumlah stunting di Madina menunjukkan penurunan, yakni: 9,65 persen (2020) dan 8,0 persen (2021). “Akhir tahun ini kami upayakan turun sekitar 1 persen, sehingga menjadi 6-7 persen,” tambah Lesti Mafitri.
Dinas Kesehatan Madina dan OPD (organisasi perangkat daerah) terkait sebenarnya sempat kaget atas data stunting yang dikeluarkan BKKBN provinsi. Karena itu, kantor Bappeda—selaku koordinator—langsung rapat bersama sejumlah 15 OPD terkait, antara lain, PMD, Dinas Kesehatan, dan Perkim.
“Kok datanya bisa beda. Ternyata kesalahan adalah soal metode pengambilan data. Bahkan, kami langsung koordinasi dengan Dinas Kesehatan provinsi. Mereka mengatakan data yang dipakai adalah mengunakan EPPGBM. Dengan kata lain, data BKKBN Sumut kurang valid karena belum tentu mencerminkan kondisi nyata di lapangan,” kata Lesti Mafitri.
Reporter: beritahuta/Sir