menu Home chevron_right
ArtikelNewsOpini

Kebangkitan Lembaga Keuangan Syariah

Roy Adam | 4 September 2019

Foto: Sunarji Harahap (Penulis)

 

Kebangkitan Lembaga Keuangan Syariah

OPINI-Perbankan Islam modern pertama kali berdiri pada tahun 1963 di Mesir oleh Ahmad El Najjar dengan mendirikan sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing dengan nama Mit Ghamr Bank. Bank ini tidak memungut maupun menerima bunga, melainkan dengan konsep kerja sama dengan bagi hasil keuntungan. Dari Mit Ghamr Bank ini kemudian muncullah ide untuk mendirikan perbankan yang menggunakan skema bagi hasil negara-negara yang berada pada Organisasi Konferensi Islam (OKI). Pemantapan hati negara-negara anggota OKI untuk mengislamisasi ekonomi negaranya masing-masing tumbuh setelah Konferensi Ekonomi Islam III yang diselenggarakan di Islamabad pakistan bulan Maret 1983.

Di Era Revolusi Industri 4,0 kesadaran umat Islam untuk mengembangkan kembali kajian ekonomi syari’ah. Ajaran Islam tentang ekonomi, kembali mendapat perhatian serius dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada era tersebut lahir para ahli ekonomi syariah yang handal dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang mu’amalah. Sebagai realisasi dari ekonomi syariah, maka sejak tahun 1975 didirikanlah Internasional Development Bank ( IDB ) di Jeddah. Setelah itu, di berbagai negara, baik negeri- negeri muslim maupun bukan, berkembang pula lembaga – lembaga keuangan syariah. Sekarang di dunia telah berkembang lebih dari 400an lembaga keuangan dan perbankan yang tersebar di 75 Negara, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah maupun kawasan Asia lainnya. Perkembangan aset – aset bank mencatat jumlah fantastis 15 % setahun.

Sejalan dengan berdirinya Islamic Development Bank (IDB) tersebut yang disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam OKI, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa pinjaman berbasis feedan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah Islam. Sejak saat itu, dibelahan negara lain telah muncul berbagai lembaga keuangan syariah, termasuk di negara-negara barat. Bahkan, London di Inggris Raya berlomba dengan Malaysia, Arab Saudi dan Indonesia untuk menjadi pusat ekonomi syariah di dunia.

keuangan Islam masih sangat luas pembahasannya. Keuangan Islam yang di Indonesia dikenal dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) mencakup banyak industri. LKS mencakup industri perbankan, asuransi, pegadaian, modal ventura, pasar modal, dan lembaga keuangan lainnya yang berasaskan Islam.

Dari berberapa industri tersebut, perbankan syariah masih menjadi motor utama dalam perkembangan LKS. Asset yang dimiliki oleh perbankan syariah jauh lebih besar daripada lembaga keuangan syariah yang lainnya. Untuk itu, perbankan syariah menjadi kekuatan utama dalam lembaga keuangan syariah. Namun demikian, lembaga yang lainnya masih mempunyai potensi yang sangat besar dalam mendukung berkembangnya lembaga keuangan syariah, khususnya asuransi syariah.

Di Indonesia, perkembangan pembelajaran dan pelaksanaan Ekonomi Islam juga telah mengalami kemajuan yang pesat. Pembelajaran tentang Ekonomi Islam telah diajarkan di beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta. Perkembangan Ekonomi Islam telah mulai mendapatkan momentum sejak didirikannya Bank Muamalat pada tahun 1992. Berbagai undang-undang yang mendukung tentang sistem ekonomi tersebut mulai dibuat, seperti UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dalam UU No. 10 Tahun 1998 dan UU. No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Bahkan, hal ini mendapat dukungan langsung dari Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dengan membuka GRES (Gerakan Ekonomi Syariah) di Jakarta dan dimasa Presiden Jokowi Berdirinya Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) , Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) diresmikan pada tanggal 27 Juli 2017, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2016 tentang Komite Nasional Keuangan Syariah. Komite ini merupakan lembaga non-struktural yang dipimpin langsung oleh Presiden RI dan Wakil Presiden RI,

Dalam pembahasan sebelumnya sudah dibahas bahwa peradaban Islam akan berdiri kembali dengan adanya dukungan dari berbagai sektor, termasuk dalam sektor ekonomi. Untuk itu, sebagian umat muslim harus ada yang berjuang untuk membumikan Ekonomi Islam di Indonesia pada khususnya dan di dunia pada umumnya. Bagi para stakeholder dan shareholder di berbagai perusahaan syariah, harus mempunyai tujuan untuk membumikan Ekonomi Islam. Pemegang saham, manajer, direksi ataupun karyawan haruslah mempunyai paradigma bahwa apa yang mereka kerjakan untuk membumikan Ekonomi Islam, dan bukan sekedar mencari penghidupan. Sedangkan bagi aktivis kampus yang bergerak di dalam Ekonomi Islam juga harus mempunyai paradigma yang benar, bahwa apa yang mereka lakukan untuk membumikan Ekonomi Islam, bukan sekedar mencari pekerjaan di sela-sela waktu kuliah, atau hanya sekedar ikut-ikutan teman.

Gerakan-gerakan ini sangatlah mulia, jadi tujuan untuk membumikan ekonomi Islam harus diutamakan sebelum tujuan-tujuan yang lainnya. Kita harus mempunyai paradigma bahwa apa yang kita laksanakan adalah kerja dakwah, bukan sekedar kerja nafkah. Saatnya Umat Muslim menyatukan komitmen, jika kita mempunyai bisnis, maka jadikanlah bisnis tersebut ladang dakwah, bukan dakwah yang dijadikan bisnis. Jika kita mempunyai profesi, jadikan profesi tersebut sebagai dakwah, bukan dakwah yang dijadikan profesi.

Ekonomi Islam memang telah menunjukkan eksistensinya dalam menopang perkembangan perekonomian Indonesia, namun beberapa kendala masih banyak ditemukan. Maka diperlukan langkah-langkah agar pembumian ekonomi Islam di Indonesia dapat lebih baik dan diminati oleh banyak elemen masyarakat. Langkah tersebut diperlukan adanya sinergisitas dari semua kalangan masyarakat baik itu dari sisi regulasi, akademisi, praktisi maupun ulama agar tidak ada ketimpangan di dalam membumikan ekonomi Islam di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa peran aktif masyarakat merupakan faktor penting dalam membumikan ekonomi Islam.

Akademisi mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembumian ekonomi Islam. Dosen-dosen di kampus mempunyai peran dalam menjadikan nilai-nilai universal yang berlandaskan Al-Quran dan Sunnah sebagai world view melalui pendekatan riset, pengembangan konsep-konsep dan juga mengembangkan strategi pengajaran ekonomi Islam di semua tingkat pendidikan. Para dosen juga mempunyai andil dalam pembentukan mahasiswa di masing-masing kampus. Selain itu, peran mahasiswa di berbagai organisasi yang mengatasnamakan ekonomi Islam juga tidak dapat dikesampingkan. Para aktivis ini telah bergerak dalam FoSSEI (Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam) maupun KSEI (Kelompok Studi Ekonomi Islam) yang terdapat di masing-masing kampus. Peran mahasiswa ini menjadi sangat vital, karena mereka adalah agen-agen perubahan bangsa, dari merekalah sosialisasi ekonomi Islam lebih masif tanpa dengan didasari profit motive. Untuk itu, para akademisi harus mempunyai paradigma yang baik. Bahwa kegiatan mereka yang hanya sekedar mengajar, berdiskusi, berkumpul, belajar, sosialisasi ekonomi Islam itu bukanlah pekerjaan yang sepele, namun harus ada dalam niatan mereka bahwa apa yang mereka lakukan ini adalah membumikan ekonomi Islam. Apapun yang mereka lakukan haruslah bertujuan untuk memuwujudkan visi, yaitu membumikan ekonomi Islam, bukan hanya di Indonesia bahkan di dunia.

Regulator juga mempunyai peran yang sangat signifikan dalam pembumian ekonomi Islam. adanya regulasi-regulasi sebagai payung hukum praktik ekonomi Islam mutlak diperlukan dalam menopang pembumian ekonomi Islam. Dalam hal ini berperan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan juga DPR RI berperan dalam menetapkan rancangan undang-undang Perbankan Syariah, Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Perpajakan, Zakat Infak Shodaqoh dan Wakaf (ZISWAF), dan segala instrumen yang berkaitan dengan ekonomi Islam.

Selanjutnya peran dari praktisi, dimana merekalah yang mengaplikasikan ekonomi Islam di masyarakat. Setiap praktisi yang berkecimpung dalam ekonomi Islam khususnya dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS) harus mengerti hukum-hukum syariah. Kenyataannya, masih banyakdikotomi praktisi. Banyak praktisi yang hanya mengerti tentang hukum ekonomi namun tidak mengerti hukum syariahnya. Di lain sisi, juga terdapat praktisi yang hanya paham tentang hukum syariah, namun tidak mengerti hukum ekonominya. Agar pembumian ekonomi Islam maksimal, diperlukan praktisi yang paham tentang ekonomi namun juga ahli dalam hal syariahnya.

Dalam pembumian ekonomi Islam juga dibutuhkan andil dari masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat sebagai konsumen dalam melakukan transaksi-transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, maupun di dalam jual beli dalam kesehariannya. Jika setiap masyarakat sadar dengan prinsip kejujuran, tanggung jawab dalam perdagangan maka pada hakikatnya masyarakat tersebut telah mengaplikasikan ekonomi Islam.

Tak luput dari kesemuanya itu juga peran dari para ulama. Di dalam sebuah ungkapan (hadits Nabi menurut sebagian ulama) dinyatakan: “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi”. Sebagai pewaris para Nabi, maka ulama mengemban beberarapa fungsi, sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Quran, yakni (1) tabligh (menyampaikan pesan-pesan agama) yang menyentuh hati dan merangsang pengalaman, misalnya surah Al-Nisa (4) ayat 63. (2) tibyan (menjelaskan masalah-masalah agama berdasarkan kitab suci) secara transparan, misalnya surah Al-Nahl (16) ayat 44. (3) tahkim (menjadikan Al-Quran sebagai sumber utama dalam memutuskan perkara) dengan bijaksana dan adil, misalnya surah Al-Baqarah (2) ayat 213 dan. (4) Uswah Hasanah (menjadi teladan yang baik) dalam pengalaman agama, misalnya surah Al-Ahzab (33) ayat 21.

Dalam pembumian ekonomi Islam, peran ulama ini juga sangat vital, khususnya para ulama yang tergabung dalam Dewan Syariah Nasionl (DSN) – Majlis Ulama Indonesia (MUI). DSN MUI memang bertugas dalam memberikan fatwa-fatwa yang berkaitan dengan praktis ekonomi Islam di Indonesia. Agar pergerakan lebih masif tidak hanya berpatokan kepada DSN MUI saja, melainkan kepada seluruh ulama yang ada di Indonesia yang terdiri dari Kyai, Ustadz, ataupun Muballigh.

Penulis

Sunarji Harahap, M.M.

Dosen  Fakultas Ekonomi Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Sumatera Utara / Pengamat Ekonomi Sumut 

Komentar Anda

komentar

Written by Roy Adam

Comments

This post currently has no comments.

Leave a Reply


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.


  • Acara Saat Ini
  • Acara Akan Datang



  • play_circle_filled

    Streaming StArt 102.6 FM Panyabungan

play_arrow skip_previous skip_next volume_down
playlist_play