SIKAP REDAKSI-Mandailing Natal dikenal sebagai tanah emas. Hampir di setiap daerah yang ada di Mandailing Natal ini memiliki lading emas. Keberadaan emas ini pula yang diserbu para pengusaha baik perseorangan maupun dalam bentuk persero seperti PT. Sorikmas Mining dan perusahaan sejenis lainnya.
Keberadaan perusahaan tambang ini tidak serta merta diterima masyarakat. Selain kurangnya kontribusi perusahaan kepada warga, rusaknya alam menjadi alasan lain, terlebih tambang perseorangan yang kebanyakan ilegal. Maka tak mengherankan jika banyak masyarakat yang melakukan demo atau unjuk rasa meminta penutupan tambang. PT Sorikmas Mining sekalipun tidak lepas dari tuntutan itu, setidaknya pada tahun 2013 lalu sempat terjadi pembakaran fasilitas perusahaan akibat konflik dengan masyarakat.
Belakangan ini, lokasi penambangan yang menajdi sorotan adalah penambangan di kawasan Batang Natal. Penambangan di pinggir sungai Batang Natal ini memunculkan protes warga setempat. Selain penambangan yang ditengarai ilegal, penambangan ini juga mengancam kesehatan warga karena pengerukan di sisi sungai telah merusak ekosistem sungai Batang Natal. Apalagi penambangan di daerah ini menggunakan alat berat seperti eskavator. Para pengusaha tambang di daerah ini seperti kebal hukum.
Padahal Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi saat berkunjung ke Madina Desember tahun lalu menegaskan akan menutup tambang ilegal di Madina. Namun, sampai hari ini hal tersebut tidak terjadi. Bahkan yang terlihat justru semakin marak. Penegak hukum pun seolah tutup mata dengan apa yang terjadi di Kecamatan Batang Natal dan Lingga Bayu. Ada kabarnya, penegak hukum bukan saja tutup mata, tapi ikut terlibat. Permasalahan ini bukan tidak sampai kepada pemerintah kabupaten Mandailing Natal. Buktinya, pada akhir April lalu Forkopimda melakukan rpat terbatas terkait hal ini. Tak tanggung-tanggung, rapat ini dipimpin langsung oleh Bupati Madina, Drs. Dahlan Hasan Nasution dan dihadiri Ketua DPRD, Erwin Efendi Lubis.
Usai rapat Bupati mengatakan seluruh unsur yang hadir dalam rapat itu sepakat untuk dilakukan penertiban penambangan di wilayah Batang Natal dan Lingga Bayu usai lebaran. Setali tiga uang dengan Bupati, Ketua DPRD Madina Erwin Efendi Lubis juga menyampaikan akan melakukan evaluasi aktivitas tambang di kawasan Batang Natal dan Lingga Bayu.
Namun, sampai hari ini evaluasi dan penertiban itu belum terlihat. Yang ada justru pengerukan sungai yang semakin intens. Penggunaan alat berat yang semakin tak terkendali dan pencemaran sungai yang semakin tak terelakkan. Belum lagi kontribusi terhadap masyarakat yang sangat minim. Padahal dari kabar yang beredar bukan hanya warga local yang bermain di sana, tapi juga warga dari Sumatera Barat yang notabene di luar Provinsi Sumatera Utara.
Keberadaan pemilik usaha tambang dari luar daerah ini tentu memunculkan pertanyaan apakah penegak hukum di Madina sudah tidak punya nyali atau jangan-jangan ada permainan upeti. Masyarakat hanya bisa menduga-duga serta menikmati rusaknya sungai yang menjadi sumber air utama masyarakat. Sungai Batang Natal yang dulunya jernih kini telah berubah jadi cokelat. Pengusaha tambang semakin kaya, rakyat semakin melarat sementara pemerintah dan penegak hukum seakan tutup mata.
Mengingat hari ini sudah hari kesepuluh lebaran. Sudah seharusnya pemerintah melakukan penertiban seperti hasil rapat terbatas tersebut dan DPRD mulai melakukan evaluasi. Masyarakat menantikan sikap tegas pemerintah untuk menyelamatkan Sungai Batang Natal. Menyelamatkan sungai Batang Natal berarti menyelamatkan generasi dan masa depan Mandailing Natal. Atau jangan-jangan maksud dari pemerintah dan DPRD melakukan penertiban dan evaluasi usai lebaran adalah lebaran tahun depan atau lebaran tahun kuda? Masyarakat tidak bisa lagi menanti, sungai Batang Natal tidak lagi bisa menunggu lebih lama.
Tim Redaksi StArtNews