Panyabungan, StartNews – Pernikahan dini merupakan salah satu faktor pendorong munculnya keluarga miskin baru, karena anak-anak yang menikah usia dini dipandang tidak siap secara mental dan ekonomi dalam mengarungi rumah tangga.
Pernikahan dini juga berpengaruh terhadap kesempatan belajar anak-anak. Hal ini yang terjadi di Desa Siobon, baik Siobon Jae maupun Siobon Julu, Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Pernikahan dini di wilayah tersebut kerap terjadi, sehingga tidak hanya berpotensi melahirkan keluarga miskin baru, tapi juga mengancam dunia pendidikan. Pasalnya, banyak murid yang berhenti sekolah karena telah menikah. Anak-anak yang menikah ini umumnya usia SMP.
Kepala SMPN 7 Satu Atap Panyabungan Lisda Nursanti mengaku banyak siswa yang berhenti sekolah akibat pernikahan dini. Baginya, hal tersebut sudah bukan sesuatu yang baru lagi. Dia pun mengaku miris dengan keadaan itu. “Kemarin masih sekolah, hari ini dapat kabar sudah menikah,” katanya, belum lama ini.
Mantan wakil kepala SMPN 3 Panyabungan menyebutkan banyak lulusan SMP di sana yang tidak melanjutkan pendidikan ke SMA. Kondisi ini pun menjadi salah satu faktor penyebab tingginya pernikahan dini di wilayah itu. “Lulus SMP tidak lanjut SMA, akhirnya nikah muda,” jelasnya.
Lisda menerangkan kondisi sekolah yang terletak di Desa Siobon Jae itu perlu perhatian pemerintah untuk mencegah bertambahnya pernikahan dini di Siobon. Kondisi ekonomi anak dalam keluarga baru banyak yang tidak menjadi lebih baik daripada saat sebelum menikah. Mereka tetap kesulitan memenuhi kebutuhan pangan, bahkan sebaliknya menambah beban bagi orangtuanya.
Sumber penghasilan yang rendah dan bertambahnya jumlah anggota keluarga pada akhirnya memberi tekanan ekonomi yang makin besar pada rumah tangga. Tak hanya itu, perhatian terhadap pendidikan pun lemah. Sesuai keterangan kepala sekolah, hal yang lumrah anak-anak tidak hadir di sekolah selama berhari-hari tanpa keterangan.
Ketika ditanya, anak-anak ini hanya di rumah. Sementara ketika orangtuanya dipanggil ke sekolah, banyak yang tidak menyahuti atau justru datang ke sekolah dengan amarah. “Berhari-hari anak-anak itu absen, tapi orangtuanya seperti tidak peduli,” jelasnya.
Tak jarang, guru maupun kepala sekolah turun langsung ke desa untuk menjemput anak-anak agar hadir. Para guru pun harus rela menyisihkan uang untuk membeli kebutuhan anak-anak, seperti sepatu dan buku. “Kalau misalnya ada pelajaran menggambar, ya, guru atau sekolah yang menyiapkan bukunya,” tambah Lisda.
Kondisi sekolah kian sulit karena tak terjangkau internet. Untuk pelaksanaan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK), murid-murid di sekolah ini harus menumpang ke sekolah lain. Hal ini pun menyebabkan bertambahnya biaya keluar anak dari yang sebelumnya tidak memerlukan ongkos harus mengeluarkan biaya transportasi. “Padahal ada Chrome Book, jadinya tak terpakai,” terangnya.
Lisda bukan tak melakukan apa-apa. Perlahan-lahan hasil kerja kerasnya dalam kurun empat tahun ke belakang mulai terlihat. Kini,orang tua sudah ada yang mau datang ke sekolah untuk menyampaikan alasan ketidakhadiran anaknya. Beberapa lulusan, meskipun masih hitungan jari, mulai melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA sederajat. “Mereka rata-rata memilih SMK,” ujarnya.
Tahun ini Lisda mengajukan salah satu siswanya untuk mengikuti selesksi beasiswa Chairul Tanjung Foundation (CTF). Dia berharap anak-anak yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMK bisa menjadi pionir kepedulian terhadap pendidikan di Siobon.
“Rata-rata tidak melanjutkan pendidikan karena kendala biaya,” tutupnya.
Untuk diketahui, saat ini ada 67 siswa yang menimbal ilmu di SMPN 7 dengan seluruh guru berasal dari luar dua desa tersebut. Guru yang bertugas di sekolah itu terdiri dari tiga PNS, termasuk kepaala sekolah, satu ASN PPPK, dan tiga honor komite dengan salah satunya ditugaskan sebagai operator. Jarak Siobon ke Kota Panyabungan hanya sekitar delapan kilometer dengan kondisi jalan aspal hotmix.
Reporter: Roy Adam