DALAM pertemuan keluarga Perintis tahun 1996, cerita ngalor-ngidul. Kami duduk di atas rumput, di gubernuran. Ketua Perintis Kemerdekaan Sumatera Utara waktu itu Prof. Dr. Bachtiar Fanany Lubis, dosen USU, duduk bersila di atas rumput, tanpa alas. (Saya lupa apakah beliau anak H. Ayub Suleman Lubis, Ketua Perintis sebelumnya).
Kesempatan berkumpul setiap tanggal 16 Agustus di Gubernuran, menjadi momen berbagi cerita bagi anak-anak keluarga perintis. Saya kira itu pewarisan nilai dan kisah-kisah yang tidak semua kami tahu.
Lalu merambat ke kisah-kisah perjuangan di lingkup Goa Borala, Huta Pungkut. Mereka yang selalu rapat di Goa Borala tentu faksi Partindo. Partindo dibentuk pasca PNI pecah setelah Soekarno dipenjara.
Salah satu tokoh Partindo di Mandailing adalah Muhidin Nasution. Partindo juga membubarkan diri tahun 1937 karena tekanan kolonial. Muhidin Nasution lalu masuk Partai Murba yang didirikan Tan Malaka, Chairul Saleh, Soekarni, dan Adam Malik. Dalam fusi partai tahun 70-an, Murba bergabung dengan PDI. Jadilah Muhidin Nasution pengurus DPP PDI.
Ia orang yang seumur hidupnya menolak menjadi legislatif karena ingin berjuang lurus. Bahkan ketika menjadi Ketua DPP PDI, ia tinggal di sebuah rumah berlantai tanah, di pedalaman Jawa Barat. (Tentang ketulusan Muhidin Nasution berbamgsa, pernah diceritakan Sabam Sirait).
Muhidin Nasution lahir di Hutapungkut tanggal 20 Oktober 1910. Lulus dari HIS Kotanopan, ia terjun ke dunia pergerakan. Usianya masih 19 tahun waktu itu.
Tahun 1933, ia masuk Partindo. Bersama Boeyoeng Siregar, Abu Kosim Dalimunte, dan lain-lain; mereka sering melakukan rapat-rapat di Goa Borala. Rapat itu bertujuan untuk strategi perjuangan melawan Belanda yang berpusat di Kotanopan. Melalui aksi massa, rapat akbar, atau aksi sabotase lainnya, membuat Belanda gerah.
Saat itu, Hutapungkut desa pertama yang bebas buta huruf di Sumatera Utara. Itu karena peran kursus menulis dan membaca yang dilakukan tokoh-tokoh pergerakan di sana. Tentu juga peran Adam Malik yang mensuplai bahan-bahan bacaan dari Batavia. (Bahkan di Sayur Maincat ada penerbit koran).
Bulan Oktober 1933, Muhidin Nasution ditangkap Belanda. Dua tahun kemudian ia dibuang ke kamp tahanan politik Digul, Irian Jaya.
Di kamp yang sama juga ada Bung Hatta, Sayuti Melik, Maskun, Sutan Syahrir, dan tokoh-tokoh pejuang lain. Tentu juga tokoh Mandailing lain. (Tentang Digul, saya tampilkan dalam film “Dari Mandailing ke Boven Digul” tahun 2018).
Jepang masuk tahun 1942. Semua tahanan Digul dibawa Belanda ke Australia. Termasuk Muhidin Nasution. Baru setelah merdeka, Januari 1946, Sekutu mengembalikan Muhidin Nasution ke tanah air. Ia segera bertugas di Kementerian Pertahanan dengan pangkat Letkol. Bulan Agustus 1946, ia memimpin Laskar Biro Perjuangan Daerah ke-34 Kresidenan Bogor.
Ketika Devisi Siliwamgi yang dipimpin Jenderal Nasution hijrah ke Yogya pasca Perjanjian Renville, Muhidin tetap memilih sembunyi di kantong-kantong pertahanan Republik di Jawa Barat.
Tahun 1948 bergabung dengan Brigade Tirtayasa di Banten. Brigade itu termasuk kelompok bersenjata yang menolak Perjanjian Meja Bundar. Tahun 1950 sempat ditahan selama dua tahun.
Tahun 1955-1957, menjadi Asisten Politik Menteri Pertahanan Prof. Iwa Kusuma Sumantri. Tanggal 21 November 1985, Muhidin Nasution meninggal setelah menunaikan ibadah haji bersama istrinya. Beliau dimakamkan di Bogor. (***)
H Muhidin Nasution (Opung Ndut). Alhamdulillah saya lahir pas masih ada opung, sehingga saya pernah ngerasain selama 8 bulan ditimang opung. Nama saya pun adalah pemberiannya. Bangga banget sama opung. Semoga besarnya cinta dan pengorbanan opung untuk Bangsa Indonesia bisa diteruskan oleh keturunan keturunan opung ya. Alfatihah