SIKAP REDAKSI-Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan hasil sidang sengketa Pilkada Madina tahun 2020. Dalam sidang yang digelar pada Senin 22 Maret 2021, MK memerintahkan KPU Madina untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 3 TPS, yakni TPS 001 di Desa Bandar Panjang Tuo, Kecamatan Muarasipongi serta TPS 001 dan TPS 002 di Desa Kampung Baru, Kecamatan Panyabungan Utara.
Pasca penetapan hasil sidang tersebut, pembicaraan Pilkada di Madina kembali menyeruak setelah sempat adem ayem beberapa saat. Saling tuding dan saling menjelekkan kembali mencuat, terlebih di media sosial. Pakar-pakar politik tumbuh bak jamur di musim hujan. Adu argumen tak terelakkan dan isu-isu kembali dimunculkan untuk mendiskreditkan penyelenggara dan pasangan yang bertarung.
KPU dan Bawaslu menjadi ujung tombak pendiskreditan itu. Kedua lembaga penyelenggara dan pengawas Pilkada Madina 202 dinilai tidak kompeten dan tidak profesional sehingga persoalan Pilkada Madina harus sampai ke MK. Bahkan tak sedikit suara-suara yang menyebutkan putusan MK tersebut adalah bukti bobroknya KPU Madina. Banyak pula yang menyebutkan Bawaslu berpihak pada paslon tertentu sehingga persoalan di 3 TPS tersebut tidak selesai di Mandailing Natal.
Pun dengan 2 pasangan calon yang bertarung untuk menjadi Bupati dan Wakil Bupati terpilih, paslon SUKA dan Dahwin, tak luput dari ejekan dan pendiskreditan. Paslon SUKA dipandang tidak legowo dengan hasil yang ditetapkan KPU, sementara paslon Dahwin mendapat serangan sebagai peserta yang curang. Situasi ruang publik kembali memanas. Mulai dari warung kopi di dunia nyata sampai lini masa di media sosial disibukkan dengan persoalan PSU yang akan digelar dalam 30 hari ke depan.
Tentu, pilkada diharapkan bisa menghadirkan pemimpin yang benar-benar paham dan mengerti kebutuhan masyarakat sehingga kesejahteraan sebagai cita-cita awal pendirian Kabupaten Mandailing Natal terpehuni. Namun, Pilkada, dalam hal ini PSU, bukan segalanya. Polarisasi yang digaungkan pihak-pihak tertentu harus ditampik dengan argumen persatuan. Toh, dalam perayaan ulang tahun ke-22 Madina tahun 2021 ini semua sepakat untuk menjadikan narasi persatuan sebagai tema, yakni “Tetap Bersatu untuk Kabupaten Maju”.
Artinya, setiap elemen telah sepakat bahwa langkah pertama dan paling urgen untuk bisa maju adalah persatuan. Maka sudah semestinya PSU dipandang hal yang lumrah dan biasa saja serta bukan nadi utama kebangkitan Mandailing Natal. Yang terpenting adalah sumber daya manusianya, baik yang nantinya terpilih sebagai kepala daerah, legislator yang saat ini duduk di gedung wakil rakyat Madina, para tokoh yang mampu memberikan presure kebijakan serta rakyat sebagai pemegang mandat kekuasaan yang sesungguhnya harus benar-benar bersatu dan berperan aktif sesuai kadar kemampuan untuk mendorong percepatan pembangunan dan perbaikan perputaran ekonomi di Bumi Gordang Sambilan. Benalu-benalu yang selama ini menggerogoti pembangunan di Mandailing Natal harus sama disingkirkan.
PSU hanyalah satu jalan dari ratusan jalan lain yang bisa dicapai untuk ikut serta dan berperan aktif dalam pembangunan di Mandailing Natal. Jadi, PSU bukan segalanya tapi bukan juga berarti bisa dilaksanakan dengan seenaknya saja. Penetapan PSU harus sama-sama dipandang sebagai kelemahan seluruh elemen yang ada di Mandailing Natal. KPU sebagai penyelenggara harus rendah hati menerima kenyataan bahwa penyelenggaran di 3 TPS tersebut adalah bukti profesionalisme dan integritas tidak tertanam dengan baik.
Pun dengan Bawaslu, harus berani menerima dengan lapang dada bahwa pengawasan yang dilakukan serta amanah undang-undang tidak dilaksanakan dengan baik. Paslon tak luput dari persoalan ini, kejadian di 3 TPS membuktikan bahwa dalam tim pemenangan yang dibentuk mulai tingkat atas sampai pada saksi TPS masih diisi oleh oknum-oknum yang hanya mementingkat perut semata. Padahal Pilkada dihadirkan untuk memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, bukan sekelompok orang.
Terakhir, Pilkada Madina yang berujung pada putusan MK lewat sidang sengketa menunjukkan apatisme masyarakat dalam melakukan pengawasan Pilkada. Meski pengawasan pilkada diamanahkan kepada Bawaslu bukan berarti masyarakat harus berpangku tangan dan diam saja melihat pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Apatisme yang membiarkan terjadinya kecurangan-kecurangan menunjukkan bahwa masyarakat juga turut serta dan punya andil dalam kejadian tersebut.
Pilkada yang kembali berujung pada penetapan MK menunjukkan kedewasaan demokrasi masih terus tumbuh di tengah-tengah masyarakat Mandailing Natal. Namun, perlu ditekankan bahwa kemajuan Madina bukan semata ditentukan oleh PSU yang akan digelar dalam 30 hari ke depan. Untuk menyiapkan persatuan yang berujung kemajuan, maka tim 01 maupun tim 02 dan 03 harus sama-sama menunjukkan integritas yang tinggi dan berjuang meraih kemenangan Pilkada untuk seluruh masyarakat di wilayah teritorial Mandailing Natal, bukan untuk orang atau kelompok tertentu.
Maka sebelum PSU digelar langkah pertama adalah memastikan tim bersih dari benalu, termasuk meminimalisir narasi-narasi yang bisa memicu perpecahan. Cara-cara kotor, apalagi yang dapat mengadu domba masyarakat harus benar-benar ditiadakan. Mandailing Natal sedang merajut persatuan untuk menuju kemajuan. Jargon dan narasi itu tidak akan tercapai, kalau elite masih berpikir PSU adalah segalanya dan harus dimenangkan dengan cara apa pun.
Tim Redaksi StArtNews