Pojok Redaksi- KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Kita semua tahu dan paham itu. Semua pemangku kepentingan dalam perkara yang diputuskan MK, tanpa tawar-menawar, wajib hukumnya menjalankan keputusan MK.
MK pekan lalu mengabulkan permohonan uji materi Pasal 173 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait dengan verifikasi parpol. Pasal itu menyebutkan parpol yang telah mendapat kursi di DPR atau memenuhi ambang batas parlemen pada pemilu sebelumnya dinyatakan lolos menjadi peserta pemilu tanpa harus mengikuti verifikasi faktual.
Dengan mengabulkan uji materi pasal tersebut, MK mewajibkan seluruh parpol, baik parpol lama maupun baru, mengikuti verifikasi faktual. Kita menghormati keputusan MK yang bersandar pada asas keadilan politik itu. Kita juga mendorong semua pemangku kepentingan, baik Komisi Pemilihan Umum, parpol, termasuk pemerintah, melaksanakan keputusan MK tersebut. Celakanya, para pemangku kepentingan seperti melakoni persekongkolan politik menolak menjalankan keputusan MK. Mereka mengakali untuk kemudian mengangkangi keputusan lembaga penjaga konstitusi itu.
Rapat gabungan pemerintah, Komisi II DPR, KPU, serta Badan Pengawas Pemilu, dua hari lalu, menghasilkan kesepakatan bahwa pemeriksaan Sistem Informasi Partai Politik alias Sipol sama dengan verifikasi faktual. Ini jelas akal-akalan supaya penyelenggara dan peserta pemilu termasuk pemerintah dianggap mematuhi keputusan MK. Padahal, terang benderang mereka bersepakat menolak verifikasi faktual yang diamanatkan undang-undang. Itu artinya mereka secara terbuka bersekongkol menentang undang-undang.
Sipol jelas berbeda dengan verifikasi faktual. Sipol itu semacam laporan administratif kelengkapan persyaratan parpol untuk mengikuti pemilu sebagaimana disyaratkan undang-undang. Laporan itu masih perlu diverifikasi ke lapangan oleh KPU.
Di mana logikanya bila verifikasi Sipol disetarakan dengan verifikasi faktual? Bagaimana bila yang tercantum dalam Sipol, misalnya tentang keberadaan kantor mereka di kota atau kabupaten, ternyata informasi bodong? Apakah KPU menerimanya begitu saja tanpa perlu melakukan verifikasi faktual? Jangan-jangan parpol menolak verifikasi faktual karena mereka kedodoran mempersiapkan segala persyaratan? Sungguh itu semua akal-akalan yang merendahkan serendah-rendahnya kewarasan politik kita.
Akan tetapi, ada satu parpol yang masih waras, yakni Partai NasDem. Partai ini justru menolak keputusan Komisi II DPR dan pemerintah tentang verifikasi faktual. NasDem menarik seluruh anggotanya dari Komisi II hingga ada klarifikasi tentang keputusan tersebut. Partai NasDem mendorong KPU melaksanakan keputusan MK dan peraturan KPU dengan segera melakukan verifikasi faktual seluruh parpol yang telah lulus verifikasi administratif.
Berulang kali kita katakan tiada demokrasi tanpa politik dan tiada politik tanpa partai politik. Perkataan itu menunjukkan betapa partai politik memainkan peran mulia menegakkan demokrasi melalui jalan politik. Namun, melihat sikap parpol yang mengakali dan mengangkangi keharusan verifikasi faktual, kita jadi ragu seragu-ragunya parpol sanggup menjalankan tugas mulia itu.
Demokrasi tegak bila pemilu berkualitas dan berintegritas, dan verifikasi faktual merupakan fondasi bagi bangunan pemilu yang berkualitas dan berintegritas. Dengan menolak verifikasi faktual, apalagi bila ditambah politik mahar yang menggejala menjelang pilkada, alih-alih menegakkan demokrasi, seperti rayap parpol justru menggerogoti demokrasi dari dalam.
Oleh karena itu, kita mendesak KPU tetap melaksanakan verifikasi parpol demi tegaknya demokrasi. Kita juga mendesak parpol mengikuti verifikasi faktual demi tugas mulia menaikkan kelas demokrasi kita. Bila kalian, partai-partai politik, tetap menolak verifikasi parpol, mohon maaf, kita menyebut kalian rayap politik saja karena kalian telah menggerogoti demokrasi.