Pojok Redaksi-PARLEMEN yang terbiasa lamban membahas rancangan undang-undang dan pemerintah yang terlalu malas mendesak percepatan pembahasan, itu adalah fenomena lumrah di negeri ini. Terkadang kelambanan itu tak berdampak berbahaya karena yang diulur-ulur ialah pembahasan undang-undang yang boleh dikatakan tak signifikan. Namun, sebaliknya, akibatnya bisa fatal kalau yang ditunda-ditunda ialah pembahasan undang-undang yang amat strategis dan memiliki impak sangat luas.
Itulah yang kini terjadi dengan pembahasan revisi UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme). Semua tahu, pemerintah tahu, DPR tahu, bahwa UU Antiterorisme lawas itu tidak cukup bergigi mendeteksi secara dini dan mencegah para penebar dan pelaku teror beraksi. UU yang disusun pada 2002-2003 dengan berpedoman pada pola gerakan teror pada masa itu jelas tak lagi relevan ketika dihadapkan dengan realitas saat ini.
Karena itu, sejak lama banyak kalangan mendesak undang-undang itu agar segera direvisi. Itu terutama untuk mengantisipasi kian berkembangnya kejahatan lintas negara (transnational crime) dalam bentuk terorisme. Negara ini perlu payung hukum yang lebih kuat tapi juga luwes untuk mencegah dan memberangus terorisme yang terus bermutasi dengan jaringan-jaringan barunya.
Akan tetapi, kepentingan segenting itu pun tak juga dianggap serius oleh parlemen. Itu terbukti dari belum rampungnya pembahasan RUU Antiterorisme meski telah memakan waktu lima kali masa sidang. Sekarang masuk masa sidang keenam. Bila itu tak juga tuntas, publik tentu boleh meragukan komitmen dan keberpihakan DPR dalam upaya perang melawan terorisme.
Di luar soal komitmen DPR, kelambanan itu akibatnya sangat fatal. Tak tersedianya payung hukum yang mumpuni membuat negara selalu tertinggal beberapa langkah di belakang ketika teror terus ditebar para teroris. Mereka dengan leluasa mempromosikan teror kepada rakyat dengan membombardir ruang-ruang publik. Insiden bom bunuh diri di Kampung Melayu, Rabu (24/5), menegaskan kepada kita bahwa upaya mengantisipasi dan mendeteksi ancaman teror harus dilakukan jauh lebih dini lagi.
Peristiwa yang merenggut lima korban tewas, tiga di antaranya polisi, itu juga sekali lagi memberi pesan bahwa kita sangat membutuhkan perangkat hukum antiterorisme yang luar biasa kuat untuk mencegah. Bukan sekadar aturan yang baru berjalan ketika tindakan terorisme sudah terjadi. Bukan pula aturan yang baru bisa berfungsi efektif ketika korban sudah berjatuhan.
Tidak bisa tidak, seperti yang juga ditegaskan Presiden Joko Widodo, Senin (29/5) lalu, pembahasan RUU Antiterorisme harus dipercepat. Para pembantu Presiden, khususnya Menko Polhukam, mesti menerjemahkan penegasan Presiden itu dengan terus mendesak dan mengejar parlemen untuk segera menuntaskannya.
Pemerintah juga mesti memastikan bahwa dalam UU yang baru itu, penanganan terorisme melibatkan semua unsur yang terkait, seperti intelijen, TNI, dan BNPT. Namun, mesti diingat, bagaimanapun juga, dalam isu terorisme, Polri harus berada di baris depan. Inti dari pembaruan UU Antiterorisme harus dalam semangat memperkuat Polri dalam mengambil tindakan pencegahan dini.
Sumber : mediaindonesia.com
Editor : Hanapi Lubis