SIKAP REDAKSI-Wabah Corona belum jua mereda meski sudah berlangsung sejak Desember 2019. Semakin ke sini justru semakin terasa dampaknya di segala sektor kehidupan. Tidak hanya kesehatan, tapi ekonomi dan sosial juga terdampak. Wabah ini tak pandang bulu, mulai dari negara maju, negara berkembang, negara miskin, kota metropolitan sampai kota-kota kecil dan desa-desa semua meradang. Pergerakan msayarakat terbatas, pemenuhan ekonomi terganjal dan kesehatan tumbang.
Presiden Jokowi dalam keputusan termutakhir memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) disertai dengan darurat sipil. Presiden berpijak pada Perpu 23 tahun 1959. Sontak, kebijakan ini ditentang banyak pihak. Darurat sipil dirasa tidak sesuai dengan kondisi saat ini, apalagi wabah Corona telah ditetapkan sebagai bencana-non-alam.
Mungkin darurat sipil tak tepat atau barangkali belum saatnya kebijakan tersebut dikeluarkan. Namun, yang menjadi poin terpenting terlepas dari kebijakan apa pun yang dibuat oleh pemerintah, adalah kelangsungan hidup masyarakat harus tetap berjalan. Terlebih mereka yang berada di bawah garis kemiskinan, mereka yang harus bekerja saban hari agar malamnya bisa makan atau mereka yang terpaksa menantang Corona agar anak istri tidak kelaparan. Penetapan karantina wilayah arau darurat sipil bagi mereka sama saja. Terlihat seperti makan buah simalakama. Berdiam di rumah berarti siap mati kelaparan. Bekerja di luar membuka ruang terpapar Corona atau Covid Sembilan belas.
Masyarakat seperti ini merata hampir di setiap daerah di Indonesia, tak terkecuali Mandailing Natal. Masyarakat kelas bawah yang harus berjuang pagi untuk bisa makan di malam hari banyak ditemui. Baik itu penjual sayur, warung kopi, buruh tambang pasir, buruh angkat barang dan sebagainya. Diberlakukannya social distancing saja sudah merubuhkan ekonomi mereka yang sekarat. Belum lagi jika kemudian Pembatasan Sosial Berskala Besar ini benar-benar dijalankan, sudah itu dilengkapi dengan darurat sipil pula. Bukan tak mungkin kematian akibat kelaparan akan mengalahkan pandemi itu sendiri.
Maka di tengah pandemi yang bisa mengancam nyawa siapa saja, masyarakat Mandailing Natal harus mulai saling asah, saling asih, dan salung asuh. Mengasah rasa kemanusiaan dan empati yang barangkali selama ini sudah tumpul akibat terlalu lama bergelut dengan duniawi. Saatnya orang-orang dengan ekonomi yang lebih baik melihat ke depan, ke kanan, ke kiri atau ke belakang rumah untuk membantu kaum duhafa. Melihat sanak saudara yang kena hantaman ekonomi di tengah situasi yang tidak pasti ini.
Saling asih, saling memberi tali asih antara sesame warga. Buat urunan dana atau kumpulkan donasi untuk dibagikan kepada mereka yang terpaksa menahan lapar. Saling asuh, saling mengingatkan dan saling membimbing satu sama lain. Bergandeng tangan melawan paceklik yang terjadi.
Terlebih Bupati Madina juga sudah memulai langkah itu dengan mengeluarkan surat Imbauan kepada pejabat untuk menyisihkan 10% Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) yang kemudian disambut beberapa anggota DPRD yang menyumbangkan tiga bulan gaji untuk menangani dampak Covid-19 ini. Belum lagi pergerakan sosial yang sudah mulai membagi sumbangan kepada masyarakat kurang mampu. Langkah-langkah ini sejatinya harus didukung dan digalakkan. Adanya pergerakan seperti ini merupakan langkah awal dan antisipasi untuk menghadapi situasi terburuk, ketika darurat sipil atau karantina wilayah diberlakukan.
Tidak ada yang memilih untuk hidup miskin dan tidak ada yang meminta hidup serba kekurangan. Maka, sebagai masyarakat di Negeri Beradat Taat Beribadat sudah semestinya kita saling asah, saling asih dan saling asuh di tengah pandemi ini. Masyarakat Madina adalah masyarakat yang kuat. Kekuatan itu akan muncul jika semua elemen saling bergandeng tangan.
Tim Redaksi StArtNews