MUSIK & INFORMASI SIANG – Mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Fahmy Radhi, mengatakan pada masa pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, nama MR sering disebut atas dugaan keterkaitannya sebagai pihak ketiga. Dalam kasus pengadaan minyak selama periode 2012-2014 di anak usaha PT Pertamina, Pertamina Energy Trading Ltd (Petral).
“Sesungguhnya dulu tim kami (Tim Reformasi Tata Kelola Migas) ke KPK, kemudian melapor ke Bareskrim (Badan Reserse Kriminal Mabes Polri), kami melakukan konfirmasi ternyata ditemukan kesamaan, inisialnya MR,” kata Fahmy Radhi, yang menjadi anggota dalam tim yang pimpin ekonom Faisal Basri itu, kepada Tempo, Rabu, 11 November 2015.
Berdasarkan temuan lembaga auditor KordaMentha, jaringan mafia minyak dan gas itu menguasai kontrak suplai minyak senilai US$ 18 miliar atau Rp 250 triliun selama tiga tahun. “Tuan MR” ini yang menjadi perantara dengan perusahaan minyak milik negara lain (national oil company/NOC) untuk meraih keuntungan lebih banyak.
Fahmy menjelaskan, MR adalah pengusaha besar yang memiliki perusahaan di Singapura. Melalui perusahaannya, MR bertindak sebagai perantara pengadaan minyak dan gas negara. Akibat ulah para mafia minyak dan gas ini, Pertamina tidak memperoleh harga terbaik dalam pengadaan minyak atau jual-beli produk bahan bakar minyaknya.
Menurut Fahmy, pada era Presiden Yudhoyono meski nama Tuan MR santer disebut dalam kasus yang sama, ia tak pernah tersentuh Komisi Pemberantasan Korupsi karena ada unsur kedekatan antara “Mister Untouchable” itu dengan para pemimpin elite negeri ini. Walhasil, KPK tidak mempunyai pintu masuk menyelidiki kasus Petral. Adapun Presiden SBY memerintah selama dua periode, yakni 2004-2009 dan 2009-2014.
“Mumpung saat ini audit membuktikan ada kerugian negara, saya rasa ini menjadi saat yang tepat untuk KPK untuk masuk ke kasus ini, karena Presiden Jokowi mempunyai komitmen untuk memberantas mafia migas,” ucap Fahmy. Namun, siapakah MR–orang kuat di balik pengadaan minyak di Pertamina–seperti yang dimaksud Fahmy itu?
Beredar sejumlah spekulasi, orang yang punya pengaruh di Petral itu antara lain dikaitkan dengan sosok taipan minyak, Muhammad Riza Chalid. Riza dikenal dekat dengan sejumlah menteri di era Presiden SBY, seperti Purnomo Yusgiantoro, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang kemudian menjadi Menteri Pertahanan pada era SBY.
Riza pun disebut dekat dengan mantan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, anak buah sekaligus besan Presiden SBY. Bahkan, kedekatan Riza dengan kedua menteri yang menduduki jabatan strategis itu terekam luas di area publik. Pada Juli tahun lalu, misalnya, beredar foto Hatta Rajasa saat menjadi saksi pernikahan anak Riza.
Selain Hatta, acara itu juga dihadiri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro. Hatta ramai diberitakan juga terkait dengan masalah impor minyak dan gas. Dia pernah dilaporkan Solidaritas Kerakyatan Khusus Migas (SKK Migas) ke KPK ihwal kasus impor minyak mentah dan bahan bakar minyak.
“Hatta dengan kewenangannya menghambat pembentukan kilang minyak, menurunkan produksi minyak mentah, sehingga ada celah impor lebih besar,” kata Koordinator SKK Migas Ferdinand Hutahaean, kepada Tempo, 1 Juli 2014. Namun, dalam wawancara khusus dengan Tempo pada Juni tahun lalu, Hatta Rajasa menolak anggapan adanya mafia minyak di Indonesia.
“Apa yang dimaksud dengan mafia minyak? Kami mati-matian bangun kilang minyak. Di MP3EI jelas disebutkan kita tidak boleh jual gas,” katanya. Namun, Hatta mengaku mengenal Riza di Majelis Dzikir. “Saya memang mengenal Riza di Majelis Dzikir bersama Haji Harris Thahir yang punya Rumah Polonia. Tapi sama sekali tak ada urusan bisnis,” ucapnya.
Menurut Hatta, Indonesia terus mengimpor minyak karena tidak memiliki kilang. Investor kilang pun enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Rumah Polonia yang dimaksud Hatta adalah markas pemenangannya saat bertarung dalam pemilihan presiden 2014. Ia menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Saat dimintai konfirmasi, juru bicara Pertamina, Wianda Pusponegoro, mengakui adanya penguasaan kontrak migas oleh jaringan tertentu. “Hal ini menambah panjang rantai suplai sehingga harga beli minyak kurang kompetitif,” katanya. Namun Wianda enggan menyebutkan pihak ketiga yang disebut-sebut dalam audit itu.
Ihwal pembocor di tubuh Petral diakui Direktur Utama Pertamina Dwi Sutjipto. Menurut Dwi, kebocoran informasi rahasia dan intervensi pihak eksternal ini mempengaruhi pengembangan bisnis, mitra secara tidak langsung, dan proses negosiasi oleh Petral. “Sudah kami laporkan kepada pemerintah untuk diambil langkah lanjutan jika diperlukan,” katanya.