SEORANG muslim sejatinya mencintai Nabi Muhammad SAW, dengan sendirinya harus mencintai ulama. Muslim pecinta ulama otomatis adalah pecinta Rasulullah. Hubungan kausalitas ini tidak terpisahkan, karena para ulama yang mengantarkan ilmu atau ajaran Islam kepada umat dari generasi ke generasi.
Tanpa peran ulama terputuslah kebenaran Islam dan hilang keberkahan hidup generasi umat. Karena mereka, kita sekarang ini tetap memperoleh suluh agama serta terpeliharanya tatanan Islami di Madina.
Julukan Kabupaten Mandailng Natal (Madina) sebagai “Serambi Mekkah” di Sumatera Utara (Sumut) berkaitan erat dengan eksistensi deretan tokoh ulama Mandailing tempo dulu. Para ulama dengan tanpa pamrih tiada kenal lelah berjuang menjalankan fungsi pencerahan, pengajaran, dan pembinaan mental spritual serta kecerdasan intelektual sebagaimana tuntunan dan pesan Nabi Besar.
Ada seorang ulama bermarga Nasution kelahiran Makkah dan tidak lama setelah usai belajar dari berbagai ulama di Haramain, kemudian menetap di Panyabungan hingga akhir hayatnya. Beliau adalah Yang Mulia Tuan Syekh Muhammad Ja’far atau Syekh Muhammad Ja’far bin Abdul Qodir Al Mandili bin Shobir bin Afandi bin Baginda Porang dari Hutasiantar.
Syekh Muhammad Ja,’far lahir pada tahun 1896 M dari rahim seorang ibu kelahiran Arab bernama Khadijah (1314 H) di Makkah Al Mukarromah. Sedangkan ayahnya adalah Syekh Abdul Qodir al-Mandili bin Shobir (1863-1934 M) (1280-1352 H.). Seorang ulama masyhur di Haramain pada saat itu berasal dari Hutasiantar, Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina) sekarang.
Ayah Syekh Ja’far atau Syekh Abdul Qodir bin Shobir sebelum aqil balik berangkat dari Hutasiantar ke Tanah Suci dan menuntut ilmu dengan tekun secara luas dan mendalam hingga kemudian menjadi mengajar dan imam di Masjidil Haram.
Keulamaan Syekh Abdul Qodir ini menjadi salah satu bekal dasar bagi Syekh Muhammad Ja’far, sehingga membuatnya sejak kecil senantiasa akrab dengan didikan agama dan belajar ilmu-ilmu Islam bertaraf Haramain, sehingga mencapai peringkat ulama pula.
Selain mengajarkan kitab kuning, tafsir, tasauf, dan lain-lain, bidang paling menonjol diajarkan oleh Syekh Muhammad Ja’far di Panyabungan adalah tahfiz al Qur’an (menghafal Al-Qur’an) suatu bidang ilmu yang tidak begitu mudah secara umum dan alhafiz masih jarang sebelumnya .
Berkembangnya penghafal Al Qur’an di Panyabungan maupun konteks di Sumatera Utara kebanyakan bermata rantai (sanad) kepada Syekh Muhammad Ja’far selaku ulama pelopor tahfiz al Qur’an di Madina.
Masjid Raya Al Qurro Wal Huffaz yang kini masih megah berdiri di Pasarlama Panyabungan. Juga sekolah Madrasah Mardiyah Islamiyah (MMI) di Panyabungan II yang tetap eksis sampai sekarang adalah beberapa dari warisan otentik pengabdian Syekh Ja’far di Madina.
Amanah Abuya
Syekh Muhammad Ja’far datang ke Panyabungan sekitar tahun 1920-an. Kemudian bertempat tinggal di Panyabungan II, Kecamtan Panyabungan, Mandailing Natal (Madina). Sekitar 90 meter arah selatan seberang Masjid Raya Al Qurro Wal Huffaz atau sekitar 120 meter sejajar utara Madrasah MMI, Kelurahan Panyabungan II, Panyabungan.
Sesungguhnya Syekh Muhammad Ja’far bisa saja berkiprah di Haramain menggantikan kedudukan Syekh Abdul Qodir atau misalnya hijrah ke negeri tetangga yang lebih dekat untuk menjadi guru dan berkarier keulamaan. Akan tetapi, beliau lebih menaati anjuran ayahnya agar berangkat ke Mandailing menjadi guru masyarakat Madina.
Ketika Syeikh Abdul Qodir Al Mandili bin Shobir berkunjung ke Panyabungan, para pemuka setempat meminta kepada beliau agar diberikan guru aagama Permintaan ini demi menggantikan kekosongan guru Syekh Hasan yang sudah wafat. Kemudian Syekh Abdul Qodir memenuh permintaan tersebut dengan mengutus anak sulung sendiri, Syekh Muhammad Ja’far.
Panyabungan adalah negeri terpencil pedalaman Sumatera, jauh berbeda lingkungan alam dan budayanya dibanding Makkah. Kalau bukan atas dasar ketaatan kepada Abuya (ayah) dan niat mengabdikan ilmu dengan ikhlas, tentu saja sulit berkenan bagi orang biasa. Hingga akhirnya Syekh Muhammad Ja’far bin Abdul Qodir menetap di Panyabungan.
Masyarakat Panyabungan sudah pasti merasa terhormat dan senang dengan kehadiran seorang guru kelahiran Arab, anak seorang ulama Masjidil Haram.
Walaupun Panyabungan belum pernah dikunjunginya, tetapi bahasa Mandailing sudah tidak asing di telinga Syek Muhammad Ja’far sejak kecil. Selain diajarkan di rumah dan dibiasakan oleh intensifnya hubungan Syekh Abdul Qodir Al Mandili dengan orang-orang Mandailing yang datang ke Makkah pada masa itu. Maka soal komunikasi bahasa dan budaya tidak begitu masalah setelah Syekh Muhammad Ja’far tiba dan berbaur dengan masyarakat Panyabungan.
Masa Belajar
Syekh Muhammad Ja’far tumbuh di lingkungan keluarga yang taat agama. Guru pertamanya tiada lain ayahnya sendiri. Pendidikan Syekh Muhammad Ja’far berlangsung mulai ketiika di rumah dan turut menyaksikan aktivitas Syekh Abdul Qodir Al Mandili di Masjidil Haram.
Kegiatan ibadah salat, suara-suara pengajian dan lantunan ayat suci dan doa-doa sangat akrab dengan Muhammad Ja’far sejak kecil, sehingga menempa kepriadiannya mengiringi ketekunannya belajar Islam.
Salat – mengaji al qur’an – belajar, salat – mengaji al qur’an – belajar, demikian seterusnya mengisi hari-hari Syekh Muhammad Ja’far.
Masih remaja Syekh Ja’far sudah hafal al Qur’an dan menguasai pokok-pokok ilmu Islam. Selain belajar di rumah, di halaqoh-halaqoh memperdalam ilmu, baik halaqoh pengajian ayahnya maupun halaqoh-halaqoh ulama lainnya berbagai spesialisasi ilmu di Masjidil Haram. Syekh Muhammad Ja’far juga belajar di Madrasah Darul Ulum Ad Diniyah, Makkah, yang pernah dipimpin oleh ayahnya sendiri.
Tercatat guru-guru Syekh Muhammad Ja’far dari sejumlah ulama besar di Haramain seperti Ahmad al-Baghdadi, Syekh Abdullah Sanggura, Syekh Ibrahim Fida Misri, Syekh Abdurrahman Dahhan, Syekh Ahmad Nadirin, Syekh Ahmad Qoai, Syekh Isa Rowwas, Syekh Salim Syafi, dan beberapa alim di Mekah, Madinah, atau Thaif.
Mengajar di Rumah
Guru Tuan Syekh Muhammad Ja’far dapat disebut sebagai ulama “pasak bumi’. Menunjukkan model belajar dan mengajar klasik dan pola hubungan pembelajaran antara murid dengan guru ala tempo dulu. Sistem pendidikan oleh guru di halaqoh di Masjidil Haram hingga awal abad 20 dapat juga diistilahkan dengan itu.
Dalam proses pendidikan murid yang mengunjungi guru, sedangkan sang guru berdiam di tempat selaku pusat transmisi penyaluran ilmu kepada murid-murid. Lambat laun terjalin hubungan subyektif alami yang kaya dengan nilai-nilai adab dan rasa hormat di antara keduanya.
Rumah kediaman Syekh Ja’far selalu ramai setiap hari. Dikunjungi oleh berbagai kalangan dari berbagai penjuru dengan segala macam maksud dan tujuan. Laki-laki maupun parempuan, kaya atau miskin silih berganti datang menemui Tuan Syekh selaku guru yang memiliki ciri ulama “pasak bumi”.
Mereka yang datang ada yang khusus hendak belajar agama secara intensif. Ada yang hanya mengadukan masalah dan mengharap adanya solusi. Ada juga yang bermaksud meminta didoakan agar hajatnya tercapai. Atau ada yang maksudnya datang untuk bersilataruhaim sekadar berkhidmad mengharap keberkahan atas seorang ulama yang dimuliakannya.
Maka itu, selain fungsi tempat tinggal keluarga, rumah Syekh Ja’far menjadi multifungsi. Sebagai tempat belajar, pertemuan, diskusi, tausiah pengajian, dan menerangkan berbagai macam bidang ilmu layaknya madrasah atau balai umum.
Murid-murid yang jauh biasanya menginap sekaligus berkhidmad di rumah Syekh Ja’far. Terdapat beberapa sesi pengajian yang digelar di rumah itu. Pengajian kaum wanita, belajar dasar-dasar membaca dan menghafal Al Qur’an. Pengajian mingguan, tausiah harian dan pelajaran menghafal al Qur’an.
Tuan Syekh selalu mengajar dari balik tirai sebagai tabir dirinya dengan jamaah wanita. Cermin kewara’annya, Syekh Ja’far memang tak mau bertatapan mata dengan wanita. Kuatnya rasa hormat dan adab pada masa itu, para wanita tidak akan berani bertatap pandang dengan Tuan Syekh.
Pada saat itu belum terdapat alat pengeras suara atau microphone di Panyabungan. Apabila melaksanakan pengajian sering harus bersuara keras agar murid-murid bisa mendengarkan. Terlebih lagi kadang jamaah pengajian mendengar dari bawah jendela. Dibutuhkan kesungguhan dan fokus mendengar pengajaran dari Tuan Syekh agar menyerap ke dalam sanubari.
Tahfiz Al Qur’an
Khusus pelajaran tahfiz Al Qur’an, sebelum seorang murid mulai menghafal Al-Qur’an, diwajibkan menguasai bacaan Al-Qur’an dengan baik dan benar, seperti makhraj huruf, sifat, tajwid, atau kaidah umum dalam membaca Al Qur’an.
Menurut Syekh Muhammad Ja’far, seseorang yang ingin menghafal Al-Qur’an harus konsentrasi dan fokus. Karena itu, Syekh Muhammad Ja’far akan melarang orang yang ingin menghafal Al-Qur’an jika masih memiliki kesibukan atau kegiatan lain yang menyita waktu dan pikiran.
Syekh Muhammad Ja’far membagi target hafalan selama tiga tahun. Tahun pertama ditargetkan hafal 15 juz, tahun kedua 10 juz, dan tahun ketiga 5 juz. Seorang murid dinyatakan lulus setoran hafalan jika tidak mengalami kesalahan lebih dari 5 kali. Saat hafalannya lancar tanpa kesalahan, seorang murid baru boleh menambah hafalannya.
Kegiatan setoran tahfiz biasanya berlangsung di rumahnya setelah salat Isya. Murid-murid bergantian menyetorkan hafalan kepada Syekh Muhammad Ja’far dari balik tirai. Apabila terjadi kesalahan hafalan ditandai dengan bunyi ketukan papan.
Setelah masing-masing murid menyelesaikan setoran hafalannya, Syekh Muhammad Ja’far meminta mereka membaca dua maqra’ untuk memeriksa kualitas hafalannya.
Uniknya, salah satu cara Syekh Muhammad Ja’far dalam menguji hafalan muridnya adalah dengan membangunkan murid dari tidur dan langsung memintanya untuk melanjutkan bacaan ayat Al-Qur’an. Atau kadang tak disangka murid tiba-tiba spontan disuruh baca ayat tertentu. Ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana hafalan benar-benar melekat di benak murid. (***)
OLEH: Muhammad Syurbainy Nasution (bagian 1 dari 3 tulisan).