BADAN Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprakirakan hujan mulai mengguyur bumi Indonesia pada November dan Desember ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya, musim hujan biasanya berlanjut hingga Januari atau Februari.
Kedatangan musim hujan kali ini sangat kita tunggu-tunggu. Ibarat kekasih, kita amat merindukan kehadirannya. Itu antara lain disebabkan hujan menjadi instrumen pamungkas untuk memadamkan kebakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan yang sudah berlangsung hampir empat bulan. Lebih daripada sekadar menaklukkan kebakaran lahan dan hutan, air yang berasal dari hujan ialah sumber kehidupan.
Oleh karena itu, kita semestinya menyambut datangnya hujan di penghujung tahun ini dengan penuh sukacita. Apa yang kita tangkap dari suara hujan semestinya ialah pertanda bahwa kehidupan masih akan terus berlangsung. Celakanya, di negeri ini hujan bisa menjadi malapetaka. Hujan sering menyebabkan banjir dan longsor yang memakan korban. Karena itu, bila hujan pada hakikatnya ialah sumber kehidupan, di sini ia bisa menjadi penyebab kematian.
Itulah sebabnya negara kita sering disebut negeri bencana. Bencana datang silih berganti. Bencana hanya bersalin rupa. Musim kemarau kebakaran lahan dan hutan, musim hujan kebanjiran.
Untuk menghindari hujan menjadi bencana, yang perlu kita lakukan dalam waktu dekat ialah mitigasi bencana. Mitigasi bencana ialah kegiatan untuk mengurangi risiko bencana.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana bisa melakukan mitigasi dengan mengidentifikasi daerah rawan banjir dan longsor sekaligus mempersiapkan proses evakuasi. Bila perlu, ungsikan warga yang tinggal di kawasan rawan longsor.
Lantas, negara mesti mengubah ‘manajemen air’ dari yang tadinya mengalirkan air hujan sebanyak-banyaknya ke laut menjadi menyerap air hujan sebanyak-banyaknya ke dalam bumi. Bikin gerakan membangun biopori dan sumur resapan. Bila perlu, bikin aturan agar pengadaan biopori dan sumur resapan menjadi kewajiban, bukan kesukarelaan. Restorasi kawasan resapan air di hulu sungai. Moratorium pembangunan vila atau perumahan di kawasan resapan air. Bila perlu, bongkar bangunan yang menghambat resapan air di hulu sungai.
Percuma bila pemerintah cuma gemar membongkar permukiman warga di muara sungai, tetapi abai menertibkan bangunan di hulu yang menjadi kawasan resapan air. Merevitalisasi kawasan muara penting, tetapi tidak cukup komprehensif untuk mencegah banjir tanpa perlakuan serupa di hulu. Negara juga harus konsisten menegakkan hukum. Kita harus mengatakan banjir dan longsor ialah bencana yang disebabkan manusia.
Banjir dan longsor sering terjadi akibat keserakahan manusia. Mereka dengan semena-mena membabat hutan demi keuntungan ekonomi semata. Ketika hujan datang, tiada lagi akar pohon yang kuasa menahan laju air sehingga terjadilah banjir dan longsor.
Kemarin kita berteriak ke telinga negara untuk menegakkan hukum pada manusia atau perusahaan pembakar lahan. Sebentar lagi mungkin kita harus berteriak lebih keras lagi agar negara melakukan hal serupa pada manusia atau korporasi penyebab banjir dan longsor.
Andai negara melakukan mitigasi bencana, menerapkan kebijakan menyerap air hujan ke dalam bumi, serta menegakkan hukum, rakyat bakal menyambut musim hujan dengan penuh sukacita. Sebaliknya, rakyat akan menyongsong musim hujan dengan dukacita mendalam bila negara tidak melakukan itu semua.