TOP NEWS-Presiden Joko Widodo tercatat sebagai kepala negara pertama yang berdialog langsung dengan Suku Anak Dalam. Percakapan juga dilakukan tanpa sekat dan jarak, bahkan Jokowi ikut jongkok di kebun sawit.
Adalah anggota Babinsa Kopka Husni Thamrin yang didaulat untuk menjadi penerjemah bahasa bagi Jokowi dengan Suku Anak Dalam. Dia kemudian bercerita tentang isi dialog bersejarah ini.
“Yang diobrolkan adalah di mana mereka minta bantuan rumah, minta dibangunkan rumah dekat dengan mata pencaharian mereka. Mereka kan enggak punya ladang karet, ada yang belum punya jadi masih berburu jadi mereka minta rumah dekat mata pencaharian mereka,” tutur Thamrin saat berbincang dengan detikcom, Senin (2/11/2015).
Tempat mata pencaharian mereka adalah di tengah hutan. Sebagian kelompok juga masih berburu dan meramu makanan.
“Mereka bilang, percuma kalau dibangunkan rumah tapi jauh dari mata pencaharian. Kebetulan keahlian mereka adalah berladang,” kata Thamrin.
Akhirnya dalam perbincangan itu Jokowi menjanjikan sebidang tanah apabila mereka bersedia dibangunkan rumah. Sehingga mereka bisa tinggal menetap, atau setidaknya punya tempat bersinggah, serta tak meninggalkan bercocok tanam.
Rupanya masalahnya adalah sebelumnya pemerintah lewat Kementerian Sosial sudah membangunkan rumah permukiman. Tetapi lokasinya jauh dari tempat pencaharian yang dimaksud.
Setelah mengetahui akar permasalahan itu secara langsung dari Suku Anak Dalam, Jokowi langsung menuju rumah singgah yang dimaksud. Rupanya di rumah singgah itu juga ada beberapa orang yang tinggal.
“Mereka memang menempati rumah itu, tapi tidak menetap. Masalahnya adalah karena masih harus berburu dan berladang di hutan, jadi sering tidak ditempati. Paling yang ada di situ hanya para Tumenggung yang sudah punya ladang, sehingga masih bisa tinggal,” kata Thamrin.
Dengan Suku Anak Dalam yang ada di rumah singgah pun Jokowi berdialog. Hanya saja isi dialognya berbeda.
“Kalau di rumah singgah, pimpinan Tumenggung Grib mereka minta listrik biar sama kayak masyarakat di luar. Kalau malam terang pakai lampu. Minta sumber air bersih. Kemudian permintaan ini direspons Presiden,” ujar Thamrin.
Pemerintah juga memberikan sejumlah uang untuk mereka. Tetapi tentu saja perlu ada tanda tangan yang dibubuhkan.
“Mereka itu kan tidak bisa menulis. Jadi tidak bisa tanda tangan. Awalnya mereka bingung. Akhirnya saya ajari saja menulis huruf ‘g’ yang artinya ‘Grib’ buat tanda tangannya,” ungkap Thamrin.
Tak berhenti pada pertemuan di hari Jumat (30/10) itu saja, siang tadi pun Thamrin diminta mendampingi Suku Anak Dalam yang meminta sambungan listrik. Dia mengantar ke PLN terdekat supaya jaringan terjalin.
Thamrin memang selalu mendampingi Suku Anak Dalam pada kebutuhan apa pun. Seringkali permasalahan yang muncul adalah gesekan dengan masyarakat lain.
Biasanya Suku Anak Dalam tak mau menerima hukum positif yang diatur dalam undang-undang. Mereka biasa memakai hukum sendiri.
“Kalau hukum ada Jambi itu adalah andaikata berantem kalu lebam-lebam maka harus diobati, andaikata sampai luka maka harus diganti dengan kambing dan 10 kilogram beras. Tapi kalau hukum adat Suku Anak Dalam itu semua-semua ada dendanya. Biasanya 100 sampai 7 lembar kain,” tutur Thamrin.
Terkait orang yang diajak dialog dengan Jokowi, apakah ada rekayasa di balik itu?
“Di awal saya bilang siapa di antara kalian yang akan bicara dengan Presiden? Kebetulan kepala keluarga ada semua. Ketua kelompok di pohon sawit atas nama Meriau. Tiga orang lagi anggotanya Meriau. Sekalian diajak meriau dan tiga orang kawannya itu berdialog. Kalau yang di rumah singgah itu para tumenggung,” jawab Thamrin.