Pojok Redaksi- Market share atau pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia pada 2017 sudah mencapai 5,74 persen. Perbankan syariah mengalami pertumbuhan cukup tinggi yakni 15,2 persen atau jauh lebih tinggi dari pertumbuhan perbankan konvensional secara nasional yang mencapai 8,4 persen.
Perbankan syariah telah berhasil keluar dari five percent traps. Walaupun market share perbankan syariah telah tembus 5 persen. Meskipun masih kecil market sharenya, namun mengalami pertumbuhan cukup tinggi yakni 15,2 persen atau jauh lebih tinggi dari pertumbuhan perbankan konvensional secara nasional. Khusus untuk BNI Syariah, market sharenya mencapai 8,21 persen atau lebih tinggi dari market share bank syariah secara nasional. Aset BNI Syariah mencapai Rp 35 triliun dibandingkan aset perbankan syariah secara nasional Rp 240 triliun serta aset perbankan konvensional secara nasional yang mencapai Rp 7.387 triliun.
Salah satu upaya perbankan syariah untuk meningkatkan market share adalah dengan melakukan sosialisasi produk dan layanannya ke masyarakat mengingat tingkat literasi keuangan. Mengingat tingkat literasi keuangan syariah nasional baru mencapai 8 persen (survei OJK).
Setelah sempat mengalami perlambatan pertumbuhan di tahun 2015, dimana data OJK menunjukkan bahwa pertumbuhan aset bank syariah hanya mencapai angka 8,78 persen, terendah dalam satu dasawarsa terakhir, namun untuk tahun 2016 dan 2017, angka pertumbuhan tersebut kembali meningkat, masing-masing sebesar 20,33 persen dan 18,98 persen. Meski pertumbuhan per Desember 2017 sedikit lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, namun angka tersebut menunjukkan kenaikan lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2015. Artinya, tahun 2016 dan 2017, perbankan syariah mengalami rebound.
Di antara bank yang berkontribusi terhadap kondisi rebound untuk pertumbuhan aset perbankan syariah ini adalah Bank BRI Syariah. Kinerja bank tersebut cukup baik, termasuk di tahun 2015. Pertumbuhan aset BRI Syariah tahun 2015 mencapai angka 19,12 persen, dimana total aset naik dari Rp 20,34 triliun pada tahun 2014, menjadi Rp 24,23 triliun pada tahun 2015. Angka ini terus mengalami peningkatan sehingga mencapai Rp 27,68 triliun dan Rp 31,54 triliun, masing-masing pada tahun 2016 dan 2017. Ini menunjukkan cukup baiknya kinerja BRI Syariah di tengah tekanan dan krisis global.
Optimisme untuk terus tumbuh dan berkembang juga diprediksikan akan dapat direalisasikan pada tahun 2018 ini. Meski tahun ini adalah tahun politik, dimana negara ini akan melaksanakan 171 pilkada secara serentak, sekaligus tahun ancaman krisis keuangan akibat bayang-bayang siklus krisis sepuluh tahunan, namun aset perbankan syariah diperkirakan akan terus berkembang.
Paling tidak, ada beberapa variabel yang menjadi penguat keyakinan ini. Pertama, rencana konversi Bank NTB menjadi BUS diperkirakan akan menaikkan market share perbankan syariah terhadap perbankan nasional, untuk bisa menembus angka 6-7 persen, dari posisi 5,4 persen hari ini. Dengan telah disahkannya Perda konversi ini, maka kita optimis target pangsa pasar ini bisa dicapai.
Kedua, upaya integrasi antara sektor perbankan syariah dengan sektor perekonomian syariah lainnya diperkirakan akan semakin kuat. Sebagai contoh, perkembangan industri halal, terutama pada industri makanan halal dan pariwisata halal, diperkirakan dapat mendongkrak pertumbuhan dana pihak ketiga perbankan syariah melalui koordinasi yang tepat dan efektif antar entitas bisnis maupun antar otoritas. Diharapkan, para pelaku bisnis halal industry ini dapat menempatkan dananya di perbankan syariah sekaligus menggunakan jasa layanan perbankan syariah untuk melakukan transaksi bisnis.
Contoh yang lain, dengan telah keluarnya fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI No 107/DSN-MUI/X/2016 terkait dengan pedoman rumah sakit sesuai syariah, diharapkan dapat mendongkrak pemanfaatan layanan perbankan syariah. Hal ini dikarenakan adanya kewajiban setiap RS yang ingin mendapatkan label sebagai RS syariah, untuk menempatkan dananya sepenuhnya di perbankan syariah. Masih banyak contoh lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh industri perbankan syariah nasional.
Selanjutnya, variabel ketiga adalah dukungan kebijakan pemerintah yang semakin membaik.Kita berharap KNKS (Komite Nasional Keuangan Syariah) dapat segera menjalankan fungsinya dengan baik dan efektif.Adanya peraturan yang dikeluarkan Kementerian Keuangan, yang memasukkan beberapa bank syariah, termasuk BRI Syariah, sebagai bank operasional II (BO II), harus dimanfaatkan secara optimal. Ini adalah peluang untuk memanfaatkan penyaluran dana APBN untuk keperluan gaji bulanan ASN, yang jumlahnya mencapai angka lima juta orang.
Meski ketiga variabel di atas membuka ruang untuk ekspansi perbankan syariah, namun yang perlu diperhatikan adalah kondisi pertumbuhan ekonomi nasional 2018 yang diasumsikan masih berada di kisaran lima persen. Artinya, bank syariah harus berhati-hati jika ingin menerapkan strategi pengembangan bisnis yang bersifat ekspansif karena kondisi pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan.Diperlukan kecermatan dalam menyusun strategi bisnis yang tepat dan efektif di tengah potensi konflik politik yang sangat besar.
Selain itu, yang perlu dilakukan adalah terus menerus melakukan edukasi dan kampanye penyadaran masyarakat untuk mau menabung dan terlibat dalam memanfaatkan layanan perbankan syariah.Pelibatan para tokoh kunci yang memiliki pengaruh di masyarakat juga perlu ditingkatkan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ustadz Yusuf Mansur yang mengajak masyarakat untuk menabung di Bank Muamalat, sehingga ini berpotensi menaikkan DPK perbankan syariah.
Penulis juga berharap, pemerintah dapat mengeluarkan paket kebijakan yang lebih berpihak pada pengembangan ekonomi syariah, termasuk perbankan syariah.Dari 16 paket kebijakan yang telah diluncurkan hingga saat ini, belum ada satu pun paket kebijakan yang berdampak pada penguatan perekonomian syariah secara langsung, meski pada paket kebijakan kelima, ada upaya melakukan deregulasi perbankan syariah.Karena itu penulis berharap agar pemerintah dapat membaca peluang pemanfaatan industri ekonomi dan keuangan syariah ini dengan baik.
Aspek lain yang juga tidak kalah penting adalah bagaimana mengintegrasikan lebih dalam lagi antara perbankan syariah dengan sektor zakat dan wakaf. Potensi zakat yang mencapai angka Rp 217 triliun ini perlu dimanfaatkan dengan baik, dimana penghimpunan dan penyaluran zakat ini dapat memanfaatkan jaringan perbankan syariah.
Ketika perbankan syariah ini tumbuh, maka bank syariah pun juga wajib menunaikan kewajiban zakat perusahaan dan zakat karyawannya kepada institusi resmi pengelola zakat. Model kolaborasi antara BRI Syariah dan BAZNAS, dimana BRI Syariah menjadi UPZ BAZNAS dan penunaian kewajiban zakatnya dilakukan secara penuh ke BAZNAS, perlu diperkuat dan ditularkan ke bank-bank syariah yang lain.
Perbankan syariah diharapkan turut berkonstribusi dalam mendukung transformasi perekonomian pada aktivitas ekonomi produktif, bernilai tambah tinggi dan inklusif, terutama dengan memanfaatkan bonus demografi dan prospek pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sehingga peran perbankan syariah dapat terasa signifikan bagi masyarakat. Semakin besar pertumbuhan perbankan syariah, maka akan semakin banyak masyarakat yang terlayani. Makin meluasnya jangkauan perbankan syariah menunjukkan peran perbankan syariah makin besar untuk pembangunan ekonomi rakyat di negeri ini. Perbankan syariah seharusnya tampil sebagai garda terdepan atau lokomotif untuk terwujudnya financial inclusion.
Di tahun 2016 yang diwarnai oleh tingkat kompetisi bisnis jasa keuangan yang semakin ketat, karena mulai berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimana untuk industri perbankan hal ini tertuang dalam ASEAN Banking Integration Framework (ABIF). Semakin sengitnya persaingan di industri jasa keuangan akan berpengaruh negatif terhadap kinerja perbankan syariah karena masih terkendala beberapa masalah seperti keterbatasan modal, sumber dana, SDM dan TI yang belum mumpuni.
Sementara dalam rangka mengembangkan industri perbankan syariah untuk menjadi pemain yang unggul dan berperan signifikan di Indonesia, terdapat beberapa tantangan dan strategis yang harus menjadi prioritas bagi stakeholders perbankan syariah. Pertama, yakni inovasi produk keuangan dan perbankan syariah yang merupakan pilar utama dalam pengembangan industri perbankan syariah.
Bank-bank syariah harus memiliki produk inovatif yang makin beragam agar bisa berkembang dengan baik. Upaya ini mutlak dilakukan karena bank syariah akhir-akhir ini mengalami pelambatan pertumbuhan bahkan penurunan market share dibanding konvensional. Inovasi produk bank syariah adalah sebuah keniscayaan, agar bank syariah bisa kembali tumbuh dan bersaing dengan perbankan konvensional maupun lembaga lain.
Penerbitan Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPNS) dan mekanisme transaksi ‘komoditi murabahah’ dapat menjadi suatu terobosan instrumen yang dapat digunakan oleh perbankan syariah dalam melakukan pengelolaan likuiditasnya.Ketersediaan instrumen pengelolaan likuiditas menjadi sangat penting dalam mencegah terjadinya krisis yang berkelanjutan pada industri keuangan syariah.Para pakar yang tergabung dalam IAEI dapat membantu industri dalam melakukan inovasi produk keuangan syariah, khususnya untuk perbankan syariah. Agar jangan sampai kekurangan instrumen keuangan syariah tersebut diisi oleh instrumen dari negara lain yang belum tentu sesuai dengan kondisi pasar keuangan dan perbankan syariah domestik.
*) Sunarji Harahap, M.M.
Penulis Adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam universitas Islam Negeri Sumatera Utara / Pengamat Ekonomi Syariah/ Penulis Aktif Opini Harian Waspada