MUSIK DAN INFORMASI SIANG – Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengungkap hasil audit kunjungan kerja perseorangan anggota dewan. Hal itu menyusul temuan BPK yang menyebut ada potensi kerugian negara sebesar Rp 945,465 miliar atas kunjungan kerja fiktif yang dilakukan anggota dewan.
“Temuan harus diungkap. Ini pelajaran bagi anggota dewan,” kata Fahri kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (17/5).
Menurutnya, pengungkapan harus dilakukan secara menyeluruh agar menjadi pelajaran bagi institusinya. Fahri mengatakan, fungsi representasi anggota DPR sudah dimasukkan dalam UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sehingga seharusnya anggota DPR tidak boleh melakukan manipulasi dalam aktivitas representasi tersebut.
Adapun konsekuensi fungsi representasi itu adalah negara mengalokasikan anggaran bagi anggota DPR untuk bertemu dengan konstituen dan memperbaharui informasi yang terjadi di masyarakat.
“Jangan sampai ada anggota yang mempergunakan kesempatan ini untuk mengambil uangnya tapi kunjungan tidak dilakukan,” jelas dia.
Fahri menambahkan, apabila tindakan kunker fiktif itu terjadi maka tidak bisa dibenarkan karena selain melanggar etika, itu juga menjadi tindakan menyalahgunakan uang negara. Dia meminta untuk menunggu audit BPK secara menyeluruh dan semoga menjadi pembelajaran agar anggota DPR disiplin dalam menjalankan fungsi representasinya kepada masyarakat.
“Kami tunggu saja temuannya. Memang kemarin itu ada keributan membicarakan soal sistem keuangannya, yaitu antar lumpsum dan at cost karena masih ada perdebatan akan hal itu,” ungkapnya.
Fahri pun bercerita beberapa waktu lalu pihaknya pernah berbicara dengan Menteri Keuangan terkait apakah sistem penganggaran yang rinci di PNS bisa sedikit diperbaiki dalam sistem anggota DPR. Dia mencontohkan dirinya kunker ke dapil dengan mengajak staf selama tiga hari, sebenarnya kena lumpsum namun ternyata masyarakat menginginkan lebih lama.
“Misalnya karena ada masalah sulit dan sebagainya, akhirnya saya extend 2 hari, dalam sistem at cost, staf saya tidak boleh menetep. Dia harus pulang ke Jakarta. Baru boleh kembali. Nah itu pertama-tama membebani keuangan negara juga. Dan juga saya yang bekerja di dapil kan membutuhkan staf. Itu akhirnya saya ditinggalkan staf atas nama pertanggungjawaban keuangan. Nah fleksibilitas ini yang kami lagi bicarakan kepada menkeu,” tutup Fahri.