Jakarta,StArtNews – Plt. Ketua DPR Fadli Zon mengatakan pembangunan yang bergantung utang tidak sesuai dengan semangat Trisakti. Salah satu doktrin Trisakti Bung Karno yang selalu dikutip pemerintah adalah berdikari secara ekonomi.
Itu sebabnya, Fadli Zon mempertanyakan, bagaimana mandiri secara ekonomi bisa tercapai, kalau utang membuat Indonesia makin bergantung dan terjerat. Fadli menegaskan, utang luar negeri bisa juga dilihat sebagai bahaya imperialisme.
“Pada tahun 2014, posisi utang kita masih di angka Rp 2.604,93 triliun. Akhir 2017, jumlah utang kita telah berada di angka Rp 3.928,7 triliun. Jadi, selama tiga tahun pemerintahan Pak Jokowi, utang kita telah bertambah Rp 1.324 triliun. Jika dihitung dengan nilai PDB Indonesia sebesar Rp 12.407 triliun, maka rasio utang pemerintah pusat hingga November 2017 ini sekitar 28,9 persen dari PDB,” papar Fadli dalam rilisnya, Kamis (4/1/2018).
Menurut dia, pemerintah harus mengurangi agresivitas dalam berutang. Ukuran yang sehat untuk menilai normalitas utang bukanlah rasionya terhadap PDB, tapi bagaimana kemampuan Indonesia dalam membayar, serta apa dampak utang bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat. Kemampuan membayar utang bisa dilihat dari angka keseimbangan primer. Dalam buku teks ekonomi, keseimbangan primer adalah jumlah pendapatan negara dikurangi jumlah pengeluaran negara di luar pembayaran cicilan utang.
“Jika keseimbangan primer negatif, bisa dipastikan bahwa pemerintah harus membayar cicilan utang dengan menarik utang baru. Sepanjang tiga tahun pemerintahan Jokowi, keseimbangan primer kita selalu defisit. Padahal, pada periode 2004 hingga 2011, keseimbangan primer kita sebenarnya selalu surplus,” tutur politisi F-Gerindra itu.
Selain mengabaikan kemampuan bayar, Fadli menilai pemerintah juga sepertinya mengabaikan soal waktu jatuh tempo (debt maturity) yang sebenarnya makin menekan Indonesia. Pada tahun 2015, pembayaran kewajiban utang pemerintah mencapai Rp 155 triliun. Lalu, pada tahun 2016 dan 2017, angkanya berubah menjadi Rp 191,2 triliun dan Rp 219 triliun. Menurut Kementerian Keuangan, pada 2018 utang jatuh tempo mencapai Rp 390 triliun, dan pada tahun 2019 angkanya menyentuh Rp 420 triliun.
“Besar sekali angkanya. Bukti bahwa pembayaran utang beserta bunganya ini telah menekan APBN kita bisa dilihat pada tahun 2017, dimana untuk pertama kalinya dalam sejarah belanja subsidi pemerintah lebih kecil jika dibandingkan pembayaran kewajiban utang pada tahun yang sama. Ini menurut saya sangat ironis,” tegas Fadli.
Fadli menilai, pemerintah cenderung menerapkan strategi ‘front loading’ dalam berutang, alias berutang banyak lebih dulu meskipun kebutuhannya belum didefinisikan. Cara ini dianggap pemerintah lebih murah untuk mendapatkan ‘cash flow’. Namun, risikonya pertumbuhan jumlah utang kita jadi mengalami akselerasi.
“Ke depan, kita harus mengontrol perilaku pemerintah dalam berutang ini. Itu sebabnya saya sering mengatakan hanya program yang berimplikasi langsung terhadap kesejahteraan rakyat saja yang mestinya jadi prioritas pemerintah. Anggaran infrastruktur yang tidak perlu sebaiknya segera direvisi. Jangan sampai anggaran publik kita ke depannya digerogoti untuk membayar utang, bukannya untuk meningkatkan ekonomi rakyat,” pungkas politisi asal dapil Jawa Barat itu. (Saparuddin Siregar)