Pojok Redaksi- SIAPA pun pemimpin Jakarta, Tanah Abang selalu menjadi sorotan. Kecemerlangan kawasan itu selalu beriring dengan dinamika persoalan-persoalan yang terus bermutasi dan berkembang. Barangkali benar bila ada yang bilang, menilai keberhasilan gubernur memimpin Ibu Kota bisa dimulai dengan melihat bagaimana ia menata Tanah Abang.
Tak terkecuali saat ini, isu seputar Tanah Abang terus menjadi perhatian publik sejak Gubernur Anies Baswedan dilantik pada Oktober 2017. Sayang sekali, bukan isu positif yang mendominasi, melainkan polemik yang dihasilkan kebijakan penataan Tanah Abang yang dinilai salah logika. Gebrakan awal Anies di Tanah Abang berbuntut kontroversi dan keruwetan yang menjadi-jadi.
Dianggap salah logika karena Gubernur Anies, secara sadar melalui kebijakannya, mengizinkan pedagang kaki lima turun ke jalan, tepatnya ia mengizinkan para PKL berjualan di Jalan Jati Baru Raya, Tanah Abang. Ia seperti antitesis dari gubernur-gubernur sebelumnya yang justru berupaya memindahkan PKL dari jalan ke dalam pasar, tempat yang memang semestinya untuk berdagang.
Anies bergeming meskipun kritik, protes, keluhan, bahkan gugatan datang silih berganti. Ia kukuh bahwa kebijakannya tak melanggar aturan walaupun tak sedikit pakar yang menyebut penutupan Jalan Jati Baru untuk dipakai PKL itu melanggar Pasal 12 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Tanah Abang yang sudah ruwet makin ditambah ruwet oleh pemimpin yang enggan dikoreksi.
Keengganan Gubernur Anies untuk dikoreksi itu amat terlihat ketika ia tak menggubris enam rekomendasi yang diberikan Polda Metro Jaya terkait dengan penataan Jati Baru Raya, Januari lalu. Begitu pun terhadap kritik Menteri Perhubungan bahwa penutupan jalan untuk PKL akan menyulitkan pengguna jalan.
Kini, Ombudsman RI yang akhirnya turun tangan mengurai kesengkarutan yang berpotensi mengganggu pelayanan publik itu juga sudah memberikan penilaian. Isinya keras. Ombudsman Perwakilan Jakarta menyebut ada empat tindakan malaadministrasi yang dilakukan gubernur. Menurut mereka, kebijakan Anies tersebut tidak kompeten, menyimpang dari prosedur, mengabaikan kewajiban hukum, dan melawan hukum.
Penilaian sekeras itu tentu saja tamparan, bahkan hantaman bagi kekukuhan Anies. Apalagi, sebagai kelanjutan dari penilaian itu, Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya juga memberi rekomendasi dan tenggat selambat-lambat 60 hari kepada Pemprov DKI Jakarta untuk membuka kembali Jalan Jati Baru. Pemprov DKI juga harus menyampaikan keputusan tindak lanjut mereka kepada Ombudsman dalam 30 hari.
Jika kita bicara soal kewenangan, rekomendasi Ombudsman punya kedudukan yang kuat. Mengingat Ombudsman sebagai pengawas pelayanan publik yang dibentuk berdasarkan undang-undang, rekomendasi mereka lebih dari sekadar saran atau nasihat biasa kepada penyelenggara negara tentang apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki pelayanan yang dikeluhkan masyarakat. Terlebih, penilaian atau rekomendasi itu diterbitkan setelah Ombudsman melakukan pemeriksaan intensif dan mendapatkan temuan bukti-bukti kuat malaadministrasi.
Mungkin saja Anies akan kembali bersikap cuek menanggapi ultimatum Ombudsman itu, seperti ketika ia nyuekin rekomendasi polisi. Boleh jadi ia akan tetap teguh membela kebijakannya. Boleh-boleh saja. Namun, ingat, Ombudsman sudah mengingatkan Gubernur DKI Jakarta terancam dibebastugaskan (nonjob) bila tidak mengikuti rekomendasi.
Lebih dari itu, kita ingin menyarankan kepada gubernur yang terhormat untuk kembali ke titik nol. Tidak hanya melaksanakan rekomendasi Ombudsman, tapi juga mari kita berhitung lagi manfaat dan mudaratnya. Jangan sampai kita kelewat kukuh membela satu kebijakan yang ternyata justru mengorbankan orang banyak. Gitu aja kok ruwet!
Sumber : mediaindonesia.com