Natal, StartNews – Lembaga Bantuan Hukum Mandailing Natal (LBH Madina) Yustisia menduga adanya keterlibatan ‘mafia tanah’ terkait alih-fungsi lahan kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit di Desa Bintuas, Kecamatan Natal, Kabupaten Madina.
Berdasarkan hasil investigasi LBH Madina Yustisia, seperti diberitakan Waspada.id, ratusan hektare hutan berstatus hutan produksi konversi (HPK) beralih-fungsi sesuai peta SK Menhut No. 44 Tahun 2005 Jo. Peta SK. Menhut No. 579 Tahun 2014 Jo. Peta SK- Men-LHK No. 8088/Men-LHKkp tahun 2018.
Ketua LBH Madina Yustisia Ali Isnandar mengatakan alih-fungsi kawasan hutan tersebut dilakukan oleh penduduk yang bukan berasal dari Desa Bintuas.
“Dapat dipastikan, tidak satu pun di antara mereka (penduduk luar) itu yang ada mengantongi izin alih-fungsi kawasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” kata Ali dalam keterangan pers kepada wartawan, Rabu (13/9/2023).
Perkebunan sawit ilegal tersebut, menurut Ali, berlangsung sejak 2008 hingga sekarang. Para pelaku secara diam-diam bekerja sama dengan oknum dan segelintir warga yang terlibat di dalamnya. Dia mengatakan pihaknya telah mengantongi nama-nama pelaku yang mengalih-fungsikan kawasan hutan tersebut menjadi perkebunan sawit milik pribadi.
Selain itu, dia juga mengaku sudah memperoleh bukti-bukti kuat berupa peta kawasan hutan dan surat ganti-rugi yang diduga dipalsukan oknum ‘mafia tanah’. Bahkan, dia mengklaim telah menemui beberapa warga Desa Bintuas yang namanya dicaplok sebagai pihak penjual di dalam surat keterangan ganti-rugi milik pelaku.
“Mereka (warga luar) telah menghilangkan sumber kehidupan masyarakat dengan merambah hutan dan menanami sawit secara ilegal hingga ratusan hektare. Bahkan, dengan cara memalsukan tandatangan penduduk asli yang sama sekali tidak tahu-menahu. Ada juga tandatangan orang yang sudah meninggal yang diduga ikut dipalsukan,” ujar Ali, yang juga penduduk asli Desa Bintuas.
Tidak tanggung-tanggung, menurut Ali, ada sekelompok keluarga di luar desa telah menguasai 122 hektare lahan hutan bermodalkan surat ganti-rugi palsu. Keluarga tersebut bukan warga Desa Bintuas melainkan berdomisili di Medan.
Sementara masyarakat asli Desa Bintuasd tersingkir dan kehilangan sumber kehidupan akibat alih-fungsi hutan secara besar-besaran yang dilakukan warga dari luar Desa Bintuas.
Menurut Ali, pemanfataan kawasan hutan seharusnya hak masyarakat sekitar kawasan/desa setempat untuk memungut hasil hutan hingga melakukan perladangan secara tradisional guna keperluan sendiri (non-komersial), bukan untuk dimanfaatkan warga lain, apalagi dilakukan tanpa periizinan resmi.
LBH Madina Yustisia akan membawa persoalan itu ke ranah hukum dan melaporkannya ke pihak kepolisian dengan menggandeng lembaga-lembaga pegiat lingkungan hidup yang ada di Indonesia.
“Kami meyakini data-data yang kami peroleh sudah lebih dari cukup untuk membawa persoalan ini ke ranah hukum dalam waktu dekat. Khusus untuk kasus ini, kami akan beraliansi dengan lembaga-lembaga pegiat lingkungan hidup yang ada di Indonesia, karena perusakan lingkungan dan hutan telah menjadi isu global yang saat ini perlu disikapi bersama,” ucap Ali.
Berdasarkan penelusuran hukum yang dilakukan LBH Madina Yustisa, ada beberapa perundang-undangan yang memuat larangan dan sanksi pidana perusakan kawasan hutan. Di antaranya, pasal 17 ayat 2 huruf b junto pasal 92 ayat 1 huruf a UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang berbunyi “Orang perseorangan yang dengan sengaja melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”
Ali mengatakan lembaganya akan terus mengawal kasus tersebut hingga tuntas dan para pelaku mendapat hukuman serta lahan tersebut kembali ke negara.
Menurut dia, LBH Madina Yustisia telah mendapat dukungan penuh dari masyarakat setempat yang bertujuan mengembalikan fungsi kelestarian hutan ke pangkuan negara. Di kawasan hutan itu seharusnya menjadi tempat berkembangbiak ekosistem flora dan fauna yang dapat dimanfaatkan penduduk Desa Bintuas.
Sayangnya, Camat Natal Ali Sahbana Nasutiona belum berhasil dimintai keterangan terkait masalah tersebut. Saat didatangi ke kantornya, Ali Sahbana tidak berada di tempat. Konfirmasi melalui sambungan telepon juga belum berhasil. Pertanyaan melalui WhatsApp juga tidak dijawab.
Reporter: Rls