Oleh : Sunarji Harahap, M.M.
Membumikan Sertifikasi Halal Restoran
Opini- Indonesia Halal watch (IHW) memang mencatat ada perkembangan siginifikan dari sertifikasi halal di Indonesia. Namun, peningkatan itu rasanya masih belum terbilang maksimal jika dibandingkan jumlah populasi Muslim di Indonesia. Meski mayoritas penduduk Indonesia merupakan Muslim, nyatanya tidak cukup banyak restoran bersertifikat halal yang bisa ditemukan. Pemerintah sendiri sebenarnya mengharuskan semua produk dan restoran memiliki sertifikat halal pada 2019, namun dikhawatirkan akan ada kemacetan karena proses sertitikasi yang panjang. Hingga kini awal September 2018 tercatat hanya 59 perusahaan restoran di Indonesia yang memiliki sertifikasi halal Majelis Ulama Indonesia, angka ini tentu berbanding sangat jauh dari total restoran yang ada di Indonesia yaitu 3.081 restoran.
Banyak ditemukan dilapangan pengusaha restoran / kuliner yang memasang label halal buatan sendiri tanpa melalui proses sertifikasi dari MUI. Selain itu, banyak juga pengusaha Restoran / kuliner atau pun juru masak yang tidak menyadari telah menggunakan komponen lain yang juga masuk dalam kategori haram selain daging babi seperti Angciu atau Mirin. Bahkan, proses penyembelihan pun tidak bisa dipastikan apakah sudah sesuai dengan syariah Islam.
BPJPH ini diharapkan menjadi stimulant membumikan untuk membangkitkan dan menggairahkan perkembangan restoran halal di Tanah Air. BPJPH segera mengkonsolidasikan tugas dan fungsi badan ini baik menyangkut perangkat kelembagaan, infrastruktur regulasi, prosedur kerja, layanan sertifikasi, sistem pengawasan maupun aspek pengembangan kerja sama domestik dan global. Pelayanan sertifikasi dan pengawasan Jaminan Produk Halal menerapkan secara konsisten prinsip integritas, transparansi, dan menghindari segala macam pungli dan gratifikasi.
Jika sudah memenuhi standar halal LPPOM MUI yakni Sistem Jaminan Halal (SJH), maka proses sertifikasi halal akan berjalan dengan cepat, jika perusahaan memenuhi kriteria SJH akhirnya bisa mendapatkan sertifikat halal akan mudah dan cepat. Tak dipungkiri, saat ini banyak restoran yang memasang label “no pork” saja tanpa jaminan stempel halal MUI. Padahal, kehalalan bukan hanya dilihat dari ada atau tidaknya kandungan haram.
Kebersihan memasak dan lainnya sangat penting dijaga agar kesadaran akan sertifikasi halal di pengusaha restoran ini sangat dikit. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal sangat berperan mendesak untuk segera diberlakukan karena semakin banyak gerai makanan dan minuman asing masuk ke Indonesia yang belum jelas kehalalannya. Seharusnya pemerintah sudah mulai menerapkan kebijakan tentang jaminan produk halal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sangat disayangkan karena pemilik restoran itu rerata orang Indonesia.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Jaminan Produk Halal belum berfungsi secara optimal. Hal ini memberikan andil terhadap produk dan gerai makanan dan minuman asing masuk ke Indonesia dengan mudah.
Ketentuan ini seharusnya diterapkan secara ketat untuk melindungi pelaku usaha nasional dan kepentingan untuk melindungi konsumen. Pasalnya, banyak produk dari gerai asing, restoran yang bertebaran di Indonesia cenderung tidak memiliki perhatian dengan ketentuan jaminan halal di Indonesia, hal ini juga tentunya sangat disayangkan karena pemegang franchise resto dan gerai tersebut WNI yang seharusnya mengetahui UU JPH, apabila dibiarkan terlalu lama akan mengakibatkan matinya ekonomi lokal berupa tergesernya restaurant dan gerai-gerai makanan tradisional karena tidak memiliki modal dan teknologi yang cukup baik.
Resto asing boleh saja membuka cabangnya di Indonesia akan tetapi harus memperhatikan ketentuan dan regulasi halal di Indonesia yang telah di atur dalam UU JPH dan ini harus menjadi komitmen pemerintah.
Berdasarkan data Badan Ekonomi Kreatif, jumlah usaha kuliner mencapai 5,55 juta usaha, atau 67,66% dari total 8,20 juta usaha ekonomi kreatif. Rerata pertumbuhan usaha ekonomi kreatif selama 7 tahun mencapai 9,82%.
Pemerintah baru akan memberlakukan Undang-Undang No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal secara efektif pada 2019, karena harus melakukan sosialisasi selama lima tahun. Koordinasi dengan berbagai kementerian dan lembaga terkait pemberlakuan UU Jaminan Produk Halal. UU ini masih dalam tahap sosialisasi, dan kami akan terus melakukan koordinasi dengan instansi terkait. Dengan begitu, pada 2019 UU ini sudah dapat langsung berlaku efektif.
Tentunya para pelaku usaha dan masyarakat untuk menjadi target dari sosialisasi UU Jaminan Produk Halal. Melalui aturan ini diharapkan nantinya produk yang beredar di tengah masyarakat sudah sepenuhnya halal.
UU ini nantinya tidak hanya mengatur tentang makanan halal, tetapi juga produk seperti gelas, pakaian, perhiasan, kosmetik, vaksin, produk kimia, biologi, dan rekayasa genetik yang digunakan masyarakat.
Untuk mengawal pelaksanaan UU Jaminan Produk Halal, pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang memiliki otoritas mengeluarkan sertifikasi halal berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia.
Indonesia sangat punya potensi pasar yang besar, banyak sektor potensial untuk dikembangkan menjadi industri halal di Indonesia, jika dikelola dengan baik, semestinya potensi tersebut dapat menjadikan Indonesia sebagai pusat industri halal global.
Dalam konteks ekonomi global, perkembangan industri halal dewasa ini telah menjadi tren dunia. Bahkan dalam proyeksi ke depan, pemerintah menginginkan Indonesia bisa masuk kategori 10 besar negara produsen halal dunia. Pesan Alquran tentang konsumsi produk halal merupakan pesan universal untuk kemashalatan ummat manusia seluruhnya.
Dalam hal ini Pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang bertugas memberikan sertifikat halal produk makanan dan minuman, serta jenis produk lainnya. BPJPH diresmikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, 11 Oktober 2017. Badan ini menjalankan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang disahkan pada 17 Oktober 2014 dalam memenuhi kewajiban (mandatory) sertifikasi halal yang semakin dekat, yakni 17 Oktober 2019, adanya BPJPH akan didukung dari masyarakat luas agar dapat mengkonsumsi produk halal bukan hanya menjadi life style tetapi sudah menjadi kebutuhan hidup kita.
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, bahwa BPJPH adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (JPH) terhadap sejumlah produk yang dikonsumsi masyarakat. Penyelenggaraan tersebut bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk dan meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal. Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Sertifikat halal tersebut merupakan pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.
Badan yang lahir berdasarkan amanat UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal ini juga harus proaktif menguatkan basis kerja sama dan pengembangan diplomasi halal, baik pada level nasional maupun global. Penguatan kerja sama itu antara lain dilakukan dengan kementerian dan lembaga terkait, serta Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kerja sama dengan LPH, misalnya dilakukan dalam hal pemeriksaan dan/atau pengujian produk, sedangkan kerja sama BPJPH dengan MUI, dilakukan dalam bentuk sertifikasi auditor halal, penetapan kehalalan produk, dan akreditasi LPH.
Terdapat beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk mendapatkan sertifikat halal, pertama, pelaku usaha mengajukan permohonan sertifikat halal secara tertulis kepada BPJPH dengan menyertakan dokumen data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, serta proses pengolahan produk, Kedua, pelaku usaha memilih LPH yang telah terdaftar. Terdapat sejumlah LPH yang telah ditunjuk dan bisa dipilih secara leluasa oleh pelaku usaha, pelaku usaha diberi kewenangan memilih LPH untuk memeriksa dan/atau menguji kehalalan produknya. LPH adalah lembaga yang mendapatkan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk. LPH bisa didirikan pemerintah dan/atau masyarakat. Saat ini, LPH yang sudah eksis adalah LPPOM-MUI. LPH yang dipilih pelaku usaha kemudian akan ditetapkan BPJPH. Penetapan LPH paling lama lima hari sejak dokumen permohonan dinyatakan lengkap, Tahapan ketiga pemeriksaan produk yang telah didaftarkan. Pemeriksaan dilakukan auditor halal LPH, yang telah ditetapkan BPJPH. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk dilakukan di lokasi usaha saat proses produksi dan/atau di laboratorium. Pengujian di laboratorium dapat dilakukan jika dalam pemeriksaan produk terdapat bahan yang diragukan kehalalannya. Hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk kemudian diserahkan kepada BPJPH. Keempat penetapan kehalalan produk. BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk yang dilakukan LPH kepada MUI untuk memperoleh penetapan kehalalan produk. MUI lalu menetapkan kehalalan produk melalui sidang fatwa halal. Sidang fatwa halal digelar paling lama 30 hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari BPJPH, Kelima, Penerbitan Sertifikat. Produk yang dinyatakan halal oleh sidang fatwa MUI dilanjutkan BPJPH untuk mengeluarkan sertifikat halal. Penerbitan sertifikat halal paling lambat tujuh hari sejak keputusan kehalalan produk diterima dari MUI. Pelaku usaha wajib memasang label halal beserta nomor registrasinya pada produk usahanya. BPJPH juga akan mempublikasikan penerbitan sertifikat halal setiap produk. Untuk produk yang dinyatakan tidak halal, BPJPH mengembalikan permohonan sertifikat halal kepada pelaku usaha beserta alasannya.
*) Sunarji Harahap, M.M.
Penulis Adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Universitas Islam Negeri Sumatera Utara / Pengamat Ekonomi Syariah