KEBERADAAN peraturan daerah atau perda sering kali menjadi sumber masalah, bukan sebagai solusi. Selain memicu ekonomi biaya tinggi, perda berpotensi mengancam eksistensi negara kesatuan. Konstitusi memang memberi kewenangan kepada daerah untuk menetapkan perda dan peraturan lain.
Tujuan penetapan peraturan itu semata-mata untuk melaksanakan otonomi dan tugas perbantuan. Perda yang dibuat mestinya menjadi bagian integral dari kebijakan nasional. Fakta berbicara lain. Tidak sedikit perda yang berseberangan jalan dengan kebijakan pusat. Pada 2016, sebanyak 3.143 perda dicabut pemerintah pusat karena dianggap bermasalah dan menghambat investasi.
Kewenangan pusat membatalkan perda bermasalah sudah diamputasi Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada 2017 dinyatakan bahwa pembatalan peraturan daerah menjadi ranah kewenangan konstitusional Mahkamah Agung, bukan lagi domain pemerintah pusat.
Pemerintah pusat tidak boleh patah arang. Sekalipun kewenangan membatalkan perda bermasalah sudah diamputasi, pusat mestinya terus-menerus mengedukasi daerah untuk tidak memproduksi peraturan yang kelak menjadi sumber masalah.Presiden Joko Widodo sudah mengambil langkah tepat dengan mengumpulkan para gubernur dan ketua DPRD dari 34 provinsi di Jakarta, Selasa (23/1).
Pada kesempatan itu Presiden mengingatkan para gubernur dan ketua DPRD agar tidak membuat kebijakan sendiri-sendiri. Penegasan Presiden soal otonomi daerah itu bukan federal harus diberi garis bawah yang tebal. “Ini perlu saya ingatkan, yang namanya otonomi daerah itu bukan federal.
Kita adalah negara kesatuan, Negara Kesatuan Republik Indonesia, jadi hubungan antara pusat, provinsi, kabupaten, dan kota ini masih satu, masih satu garis,” tegas Presiden. Salah kaprah otonomi yang menjurus pada praktik federal muncul pada saat daerah suka-suka memproduksi perda yang bertentangan dengan kebijakan pusat.
Muncul kecenderungan daerah berlomba-lomba membuat perda yang berorientasi proyek. Perda berorientasi proyek itu sangat tampak pada regulasi perizinan. Proses perizinan yang mestinya bisa cepat selesai malah sengaja dibuat berlama-lama. Untuk pembangkit listrik, misalnya, perizinan pada tingkat pusat sudah bisa dipangkas menjadi 19 hari, tetapi di daerah masih 775 hari.
Di bidang pertanian, untuk tingkat pusat sudah 19 hari, di daerah masih 726 hari. Lebih celaka lagi, kepala daerah membuat kebijakan asal beda dengan pemimpin sebelumnya sekalipun bertentangan dengan kebijakan pusat. Contohnya, soal reklamasi yang notabene merupakan kebijakan pusat malah hendak dibatalkan dengan kesadaran penuh oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Begitu juga dengan rencana menghidupkan kembali becak, ibarat membangunkan orang mati karena becak sudah lama dikuburkan di Ibu Kota. Mestinya tidak ada aturan bermasalah karena kelahiran perda dibidani DPRD dan kepala daerah. Anggota DPRD dan kepala daerah itu dipilih langsung oleh rakyat. Asumsinya, mereka orang yang terbaik dari yang baik di daerah itu.
Jika kelahiran perda dibidani orang-orang terpilih, tentu persoalannya lebih pada mentalitas. Mereka yang bermental busuk akan memaknai pemberian otonomi seluas-luasnya sebagai mandat kekuasaan tak terbatas bak raja-raja kecil. Sekalipun diberikan seluas-seluasnya kepada daerah, otonomi tetap dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan.
Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan pusat, tidak ada kedaulatan pada daerah. Dengan demikian, ketika membentuk perda, daerah hendaknya tetap memperhatikan kepentingan nasional karena hanya itu satu-satunya cara mencegah negara kesatuan beraroma federal.
Sumber : editorialmediaindonesia