Mengapa Masalah Taksi Online di Indonesia Berkepanjangan?

Mengapa Masalah Taksi Online di Indonesia Berkepanjangan?

Pengamat transportasi Djoko Setjowarno menyatakan, pemanfaatan teknologi informasi dalam penyelenggaraan transportasi adalah sebuah keniscayaan. Ini pun harus diterima oleh semua lapisan masyarakat.

Meski demikian, dia menilai keberadaan taksi daring telah membuat banyak kegaduhan di Tanah Air.

“Mengapa masalah taksi online di Indonesia berkepanjangan dan tidak selesai tuntas? Karena instansi pemerintahnya tidak kompak, masing-masing instansi kementerian berjalan sendiri-sendiri,” kata Djoko, Minggu (4/2/2018).

Iming-iming pendapatan besar telah mengalihkan sebagian orang untuk beralih memilih profesi menjadi pengemudi taksi daring. Demikian pula publik yang selama ini menikmati transportasi umum dengan berbiaya mahal dapat tawaran transportasi bertarif murah, mudah didapat, ada kepastian tarif.

Yang harus dipahami, sebut Djoko aplikasi hanya berfungsi sebagai pendukung. Sementara yang utama adalah tetap sarana transportasinya.

“Tanpa sarana transportasi, aplikasi tidak bisa memindahkan orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain. Namun tanpa aplikasi, sarana transportasi masih tetap bisa memindahkan orang atau barang,” ucap dia.

Oleh karena itu, taksi daring harus ikuti dan patuhi aturan atau regulasi transportasi. Aturan tersebut bertujuan menjamin keselamatan, keamanan dan kenyamanan dalam pelayanan transportasi.

Selama ini, aplikator tidak mau ikuti aturan transportasi, karena berlindung di aturan telekomunikasi dan dibela Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Untuk membuat dashboard yang secara teknis sangat mudah dan cepat, hingga saat ini belum ada kepastian kapan akan berfungsi untuk mengontrol aplikator.

Untuk mengatur operasional transportasi, Kementerian Perhubungan sudah PM 108/2017. Sementara kementerian lain belum banyak berulah.

“Kemenkominfo yang mengatur gerak aplikator. Hingga sekarang, kita tidak pernah tahu pasti berapa jumlah armada taksi online. Sungguh menyulitkan, bagaimana untuk mengaturnya, jika datapun tidak punya,” tutur Djoko.

Aplikasi yang digunakan harus diawasi dan dilakukan audit oleh Kemenkominfo. Jika tidak seperti sekarang, aplikator merangkap sebagai operator transportasi umum.

“Penyedia jasa aplikasi harus dipertegas, memilih sebagai operator angkutan umum atau cukup aplikator. Jangan dibiarkan berulah seperti sekarang ini, mengaku aplikator, tapi turut menentukan besaran tarif dan sistem bonus,” sebut Djoko.

Untuk menentukan besaran tarif, harus ditentukan oleh masing-masing operator transportasi umum yang sudah terdaftar di Dishub Provinsi sesuai batasan tarif yang sudah ditentukan. Demikian pula untuk menerapkan SPM taksi online akan diselenggarakan oleh operator yang sudah didirikan oleh para driver taksi online.

Pemerintah pun, tutur Djoko, jangan terlalu lama membiarkan perusahaan penyedia jasa aplikasi merusak sistem transportasi yang ada. Bagi yang tidak mau mendaftar, aplikator harus diminta segera menutup aplikasinya.

“Jika masih ada aplikator masih memberi layanan aplikasi ke taksi online yang tidak terdaftar, sudah semestinya aplikator tersebut juga harus ditutup,” ucap Djoko.

Pemerintah harus hadir dalam operasi transportasi umum, seperti menjamin keselamatan dengan uji berkala (kir) kendaraan taksi daring, menetapkan kuota dan tarif untuk menjamin persaingan yang sehat dan keberlangsungan usaha, dan mendata kendaraan taksi daring sebagai angkutan umum untuk jaminan asuransi bagi penumpang.

Pemerintah pun harus menjamin pengemudi harus memiliki SIM A UMUM untuk jaminan kenyamanan pelayanan kepada penumpang. Kehadiran pemerintah untuk menjamin usaha taksi daring dan juga masyarakat pengguna juga terjamin keselamatan, keamanan dan kenyamanannya.

Sumber : Kompas.Com

Komentar Anda

komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll To Top
Request Lagu
Loading...