Menghormati Fatsun Ketatanegaraan

PENGAWASAN merupakan salah satu fungsi DPR. Melalui fungsi itu mekanisme kontrol terhadap jalannya pemerintahan terjaga. Itulah fatsun ketatanegaraan yang mesti dijunjung DPR, juga pemerintah. Itu pula yang akan merawat hubungan produktif lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Akan tetapi, fatsun politik itu seperti tercederai akibat boikot DPR terhadap Menteri BUMN Rini Soemarno. Rini Soemarno, pada Desember 2015, direkomendasikan Panitia Khusus (Pansus) Angket Pelindo II DPR kepada Presiden Joko Widodo untuk diberhentikan dari jabatannya sebagai menteri BUMN.
DPR menuding Menteri Rini telah melakukan pembiaran atas terjadinya tindakan melawan hukum di PT Pelindo II. Presiden ternyata tak merespons rekomendasi itu. Namun, rupanya ada turunan dari rekomendasi tersebut yang ditandatangani Plt Ketua DPR saat itu, Fadli Zon, yang intinya melarang Rini menghadiri rapat-rapat di Gedung DPR.
Presiden tentu berwenang untuk tak merespons rekomendasi DPR itu karena mengangkat dan memberhentikan menteri sepenuhnya merupakan hak prerogatif presiden. Dengan rekomendasi itu, bisa ditafsirkan DPR mengintervensi hak prerogatif presiden. Itu artinya dewan mencederai sistem ketetanegaraan presidensial.
Praktis Rini tak bisa ke DPR, termasuk membahas program kerja dan anggaran Kementerian BUMN. Boikot terhadap Rini bahkan masih terjadi hingga kemarin. Pada Kamis (16/6), Menteri BUMN semestinya ada di DPR untuk mengikuti rapat kerja terkait dengan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga (RKAKL) di APBN-P 2016 dengan Komisi VI DPR. Namun, dengan dalih ‘surat pelarangan’ itu belum dicabut, DPR lagi-lagi menolak kehadiran Rini.
Presiden Jokowi pun akhirnya menugasi Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro untuk menggantikannya. Dengan sikap itu, tanpa ragu kita mesti menyebut DPR sedang memainkan peran tak elok. Dewan seperti tidak menghargai lembaga kepresidenan. Dalam struktur kelembagaan, menteri ialah pembantu presiden. Merekalah yang akan mewakili presiden dalam setiap pembahasan teknis dengan lembaga negara lain, termasuk DPR.
Jadi, ketika sebuah lembaga menolak kehadiran menteri dalam urusan pemerintahan dan kenegaraan, publik tentu boleh mengartikan itu sebagai penolakan kepada presiden. DPR telah mencederai sistem ketatanegaraan demi mempertahankan kepentingan mereka sendiri. Sikap itu sesungguhnya juga menciptakan masalah-masalah lain. Pembahasan RKAKL yang menjadi agenda raker Komisi VI dengan Menteri BUMN, kemarin, sejatinya sangat penting karena di dalamnya terdapat usul penyertaa¬n modal negara (PMN) dalam APBN-P 2016 senilai Rp53 triliun. PMN dibutuhkan BUMN dalam pembangunan infrastruktur tol hingga pembangkit listrik.
Akan jauh lebih ideal dan efektif bila pembahasan tema-tema strategis itu dilakukan dengan Menteri BUMN langsung karena menteri terkaitlah yang paling tahu kondisi dan masalah sektoral yang dihadapi kementeriannya. Pencarian jalan keluar juga akan jauh lebih mudah bila DPR berdiskusi langsung dengan menteri terkait, bukan dengan pengganti atau dengan menteri lain yang ditugasi Presiden.
Karena itu, tidak ada solusi lebih tepat selain sudahi boikot DPR terhadap Rini Soemarno, akhiri perseteruan, dan pastikan tidak ada lagi praktik-praktik mengedepankan ego kelembagaan seperti itu di masa mendatang. Setiap lembaga semestinya dapat lebih saling menghormati, bukan saling mengintervensi dan mencederai.
– See more at: http://www.mediaindonesia.com/editorial/read/771/menghormati-fatsun-ketatanegaraan/2016-06-17#sthash.aziSuiTZ.dpuf
Admin Wibesite : Musly Joss Start
Comments
This post currently has no comments.