Menguji Logika Kita Dalam Berkarnaval

Menguji Logika Kita Dalam Berkarnaval
Pojok Redaksi – BEDA dengan pameran yang memamerkan apa yang telah dilakukan; karnaval itu menampilkan corak yang menarik dari hal yang dirayakan. Menarik bagi penonton, dan juga bagi masyarakat. Bukan menarik bagi penyelenggara karnaval. Misalnya, kalau hanya anak-anak yang diarak dengan memvisualkan diri mereka sebagai camat, kades, bidan, tentera, dst; lalu sisi menariknya apa bagi masyarakat. Kreatifnya rendah. Ia juga tak memvisualkan substansial keberagaman, jika itu yang hendak dicapai.
Kedua, relevansinya dengan hari yang dirayakan apa? Kemerdekaan misalnya, masa sih urgensi kemerdekaan identik dengan stackholder pemerintah? Zaman kolonial juga ada gubernur jenderal, ada tentera, ada bidan, guru, dst. Kecuali Anda menampilkan visual guru yang merdeka, bidan yang merdeka, dst.
Di mana-mana karnaval menampilkan budaya. Ada karnaval “warna” di India, karnaval “badut” di Belgia, karnaval “band” di Trinidad, karnaval “samba” di Brazil, dst. Kemasannya cultural. Ada entitas daerah yang dipertontonkan. Bukan hanya menarik bagi masyarakat bahkan bagi wisatawan. Bayangkan, lima jutaan orang menonton karnaval “Samba” di Brazil. Jadi bukan sekedar menguatkan kebudayaan, juga benefit.
Okelah, itu misalnya bisa menjadi “Mandailing Art Festival” skala tahunan. Tapi dalam kemerdekaan? Setidaknya ada suguhan dramatikal perjuangan kemerdekaan di jalan-jalan, ada suguhan penderitaan atas kolonialisme, romusha, tanam paksa, dll. Ada barisan folksong lagu-lagu keroncong perjuangan, dst. Setidaknya, orang bisa tersentuh bahwa dulu kita pernah belum merdeka, meskipun sekarang ia juga tak sepenuhnya merdeka. Ruhnya di situ. Bukan sebatas mengumbar kekonyolan untuk menghibur orang.
Penulis : Drs. Askolani Nasution
Comments
This post currently has no comments.