Menyuburkan Moderatisme

Menyuburkan Moderatisme

Pojok Redaksi UJIAN dan tantangan terus menerpa bangsa ini di tengah dinamika global yang terus berlangsung beberapa tahun terakhir. Lunturnya nasionalisme, maraknya penggunaan sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam kehidupan sosial-politik, menjamurnya radikalisme dan sektarianisme, serta mewabahnya korupsi dan terorisme ialah beberapa di antara gejala yang berkembang di tengah ketimpangan sosial dan ekonomi Indonesia.

Dalam situasi semacam itu, Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2017 yang berlangsung di Pondok Pesantren Darul Qur’an Bengkel, Lombok Barat, NTB, pekan lalu, kita nilai tepat sekali momentumnya. Tepat karena persoalan yang terkait dengan maraknya penggunaan sentimen SARA, berkembangnya isu radikalisme, dan politisasi isu agama dalam berbagai perhelatan sosial dan politik, yang kita prihatinkan selama ini, belum juga sepenuhnya mereda.

Lebih dari itu, kita juga mengapresiasi penyelenggaraan forum tersebut yang merekomendasikan sejumlah hal untuk menjawab persoalan-persoalan kebangsaan kita. Salah satu dari rekomendasi yang kita garis bawahi ialah agar pemerintah menjadikan pendidikan sebagai garda depan pencegahan radikalisme.

Hal itu, misalnya, dapat dilakukan melalui penguatan pendidikan karakter berwawasan moderatisme dalam implementasi kurikulum, peningkatan kapasitas tenaga pendidik, dan pengelolaan program strategis seperti bidik misi. Rekomendasi lain yang juga penting ditujukan kepada partai politik.

Bahwa kalangan partai politik diminta lebih selektif dan tidak menggunakan sentimen agama dalam kontestasi politik, baik dalam ajang pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif, maupun dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Kita tentu sepakat dan bahkan sangat sepakat dengan rekomendasi yang merupakan hasil dari forum Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2017 tersebut.

Di tengah maraknya kegaduhan dan merebaknya ujaran kebencian dalam masyarakat yang terus beredar melalui media sosial, rekomendasi tersebut sangatlah tepat dan relevan. Demikian pula dengan imbauan untuk tidak menggunakan sentimen keagamaan dalam pentas politik, sangat sesuai dengan momentumnya mengingat tahun depan kita memasuki tahun politik, yakni pilkada dan persiapan pemilihan legislatif dan pilpres serentak.

Kita sependapat dengan pandangan bahwa radikalisme agama saat ini merupakan kecenderungan global yang terjadi bukan hanya pada masyarakat Islam, tetapi pada berbagai agama. Politik populisme atau kecenderungan kelompok mayoritas yang menuntut privilese atas posisi mayoritas berlangsung di seluruh penjuru dunia.

Kita mencermati di Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa, ada kelompok white supremacist yang mengklaim lebih berhak atas negara daripada kelompok lainnya. Di Indonesia, gejala yang sama bukan kecenderungan yang mustahil. Celakanya, bila hal itu dibiarkan dan menjadi arus utama bangsa, bangunan Indonesia sebagai bangsa ber-Bhinneka Tunggal Ika niscaya terancam.

Karena itu, kita terus mendorong agar ormas-ormas keagamaan menjauhkan diri dari semangat populisme yang menjurus eksklusivisme. Kita ingin negeri ini terus menyuburkan moderatisme dan inklusivisme.

Sumber : mediaindonesia.com

Editor : hanapi Lubis

Komentar Anda

komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll To Top
Request Lagu
Loading...