DetikNews.Com
MUSIK & INFORMASI PAGI – Menyusul adanya rencana revisi UU No 15 Tahun 2003 tentang Terorisme, muncul wacana penambahan kewenangan untuk BIN. Institusi itu disebut-sebut akan mendapat kewenangan untuk melakukan penindakan terhadap terduga teroris.
“Saya juga dengar ada wacana itu. Tapi kan kita belum lihat draft dari pemerintah seperti apa,” ungkap pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya saat berbincang dengan detikcom, Senin (18/1/2016) malam.
“Saya yang termasuk tidak setuju dengan adanya rencana revisi. Jika memang akan dibuat revisi, parlemen seharusnya melakukan evaluasi terlebih dahulu. Terutama mengenai operasionalnya. Harus ada transparansi,” tukas Harits.
Namun jika wacana tersebut akan dikaji atau direalisasikan, kata Harits, dia khawatir akan kembali ke zaman otoritarianisme. BIN dapat langsung menciduk para terduga teroris.
“Bisa kembali seperti saat rezim Orde Baru. Siapa saja bisa ditangkap padahal baru tuduhan atau sangkaan. Bisa menyalahi HAM, padahal di situ masih pakai KUHAP di mana ada asas praduga tak bersalah,” ucapnya.
Jika pemerintah benar-benar serius untuk mengajukan revisi UU Terorisme, Harits meminta agar DPR melakukan evaluasi terlebih dahulu. Seperti mengenai operasional-operasional yang dilakukan dalam penanganan ataupun penanggulangan teror.
“Contohnya jika menyangkut tindakan dalam pencegahan, Densus 88 sendiri sudah bisa menangkap padahal baru terduga. Ini kan artinya memang sudah dilakukan,” sambungnya.
Menurut Haritz, dalam revisi UU Terorisme itu seharusnya lebih mengedepankan pada langkah-langkah agar tindakan teror bisa dicegah. Seperti koordinasi antar institusi yang terlibat dalam penanganan teror.
“Koordinasi harus diperbaiki, seperti antara Polri, BNPT, dan BIN sebagai sumbunya. Juga agar bagaimana perlakukan terhadap terduga teroris dan keluarganya diperbaiki,” tutur Harits.
“Sebab dari situ sebetulnya radikalisme dapat berkembang. Jika ditangani dengan tepat, maka radikalisme akan dapat ditekan,” pungkas dia.