Pojok Redaksi- MASA 100 hari kepemimpinan Anies Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno diwarnai banyak kontroversi. Sejumlah kebijakan yang mereka ambil banjir kritik karena dinilai justru akan membawa Jakarta kembali ke era kesemrawutan.
Masa 100 hari memang belum sepenuhnya bisa dijadikan ukuran berhasil-tidaknya sebuah kepemimpinan. Meski demikian, itu bisa menjadi penanda ke arah mana kekuasaan akan dibawa. Sayangnya, arah yang hendak dituju Anies Sandi sepertinya arah yang salah, arah yang malah menyeret Jakarta ke belenggu masalah.
Kebijakan terkini Anies-Sandi yang patut dipersoalkan ialah legalisasi becak. Semua orang mengerti, becak bukanlah alat transportasi yang manusiawi. Semua orang tahu, becak ialah salah satu biang kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas. Semua orang juga paham, bukan zamannya lagi becak menjadi sarana mobilisasi warga.
Kita yakin pula, Anies-Sandi yang lulusan luar negeri tahu dan paham soal itu. Namun, mereka mengabaikan pengetahuan dan pemahaman tersebut untuk kemudian membuat kebijakan serampangan dengan melegalkan becak. Berderet alasan pun dikedepankan, seperti karena masih ada yang membutuhkan becak, demi membela wong cilik, demi keadilan, dan demi-demi lainnya.
Anies-Sandi juga berdalih bahwa legalisasi hanya diperuntukkan 300-1.000 becak yang masih ada di Jakarta. Keduanya tak berpikir panjang bahwa kebijakan itu sama saja undangan bagi para penggenjot becak di daerah lain untuk berdatangan. Itulah yang terjadi di Jakarta belakangan ini. Becak-becak plus para abang becak dari Indramayu dan Cirebon, misalnya, mulai menyerbu Jakarta.
Kita tahu, Anies dan Sandi ialah orang-orang pintar. Akan tetapi, harus kita katakan, seperti halnya kebijakan-kebijakan lain termasuk dalam penataan Tanah Abang, kebijakan mereka soal becak bukanlah hasil dari kepintaran. Ia sekadar kebijakan asal jadi, kebijakan yang semata untuk memenuhi janji saat kampanye pilkada.
Melegalkan becak sama saja dengan memberikan stempel kepada tukang becak untuk terus berkubang dalam kemiskinan. Banyak cara sebenarnya untuk mengentaskan tukang becak dari kehidupan papa, seperti yang dilakukan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dengan menjadikan mereka sebagai pegawai pemkot.
Namun, beda kecerdasan beda pula cara yang dilakukan. Beda dengan Risma, Anies-Sandi memilih membiarkan tukang becak tetap menjadi tukang becak yang harus memeras peluh di jalanan ketimbang menjadikan mereka sebagai pegawai yang digaji pemprov.
Kebijakan legalisasi becak kian paradoksal jika kita sandingkan dengan upaya Anies-Sandi memanjakan diri, termasuk dengan pengadaan elevator di rumah dinas gubernur. Syukur pers mengendusnya sehingga kebijakan mewah itu pun batal. Akan tetapi, Anies semestinya sudah menandatangani anggaran pengadaan elevator itu. Itu artinya ada nawaitu atau niat dalam diri Anies untuk bermewah-mewah diri.
Becak dan elevator jelas kebijakan paradoksal. Rakyat berpeluh menggenjot becak, sedangkan gubernur nyaman menikmati elevator.
Becak identik dengan kemiskinan, elevator simbol kemewahan.
Itulah Jakarta, setidaknya saat ini di bawah Anies-Sandi. Akankah kontroversi dan kontradiksi seperti itu terus berlanjut? Semua bergantung pada Anies dan Sandi. Selama keduanya hanya ingin terlihat melunasi janji selama kampanye tak peduli meski janji itu kontraproduktif bagi kemajuan, selama keduanya terus mem-branding diri demi ambisi politik, Jakarta bisa jadi akan kian mengenaskan.
Anies-Sandi memang orang-orang pintar. Apalagi Anies, ia amat pandai mengolah kata menjadi rangkaian yang menghanyutkan. Akan tetapi, mereka dipilih dan digaji untuk mengelola Ibu Kota agar menjadi lebih baik, bukan untuk mengumbar retorika.
Sumber : Editorial Media Indonesia