ADA istilah self-fulfilling prophecy dalam dunia psikologi.
Maknanya kira-kira, siapa yang membayangkan sesuatu terjadi, sesuatu itu benar-benar terjadi.
Bahkan, orang tersebut secara alami akan mengupayakan supaya hal yang dibayangkan itu betul-betul terjadi.
Kita kiranya bisa menggunakan self-fulfilling prophecy itu sebagai perspektif untuk melihat pernyataan Prabowo Subianto.
Ketua Umum Partai Gerindra itu dalam satu kesempatan menyinggung bahwa Indonesia bubar pada 2030.
Orang-orang di sekitar Prabowo membelanya dengan mengatakan pernyataan itu satu peringatan, warning.
Dari perspektif self-fulfilling prophecy, alih-alih peringatan, jangan-jangan Prabowo memang membayangkan Indonesia bubar pada 2030?
Sekurang-kurangnya pernyataan Prabowo menggambarkan sikap pesimistis seorang elite politik.
Kita senantiasa didorong bersikap optimistis dan berpikir positif supaya hal-hal baik yang akan terjadi.
Sebaliknya, sikap pesimistis dan pikiran negatif bisa mendatangkan keburukan pada kita.
Elite politik semestinya memberi teladan kepada rakyat dengan terlebih dahulu menunjukkan sikap optimistis dan pikiran positif, bukan meracuni rakyat dengan sikap pesimistis dan pikiran negatif.
Ke mana Prabowo yang dulu dengan penuh optimisme mengatakan “Indonesia ‘macan Asia'”?
Apakah karena bukan di tangan Prabowo, Indonesia tidak bisa menjadi macan Asia sehingga sekarang ia membayangkan Indonesia bubar?
Di tangan siapa pun kendali pemerintahan dan negara ini, kita semestinya bergotong royong membuat Indonesia semakin maju, utuh, dan kukuh.
Bayangan Indonesia bubar pada 2030 didasarkan pada novel Ghost Fleet.
Secanggih apa pun, novel tetap fiksi dan fiksi bukan prediksi yang didasarkan pada fakta empiris dan data ilmiah.
Apakah sesuatu yang didasarkan pada fiksi bisa dikatakan peringatan?
Faktanya, berdasarkan ukuran ilmiah yang disebut indeks kerapuhan negara (fragile state index), kondisi Indonesia terus membaik sejak 2006.
Itu artinya Indonesia semakin utuh dan kukuh.
Kondisi Indonesia memburuk dua poin pada 2016. Kita menduga itu disebabkan hiruk pikuk pilkada DKI di penghujung 2016.
Kita semua tahu apa dan siapa yang menjadi penyebabnya.
Karena kita mampu mengelola dinamika di pilkada, kondisi Indonesia jadi jauh lebih baik, meningkat 8 poin pada 2017.
Bangsa ini punya banyak kisah sukses menghadapi ancaman kerapuhan dan perpecahan.
Pengalaman itu semestinya cukup bagi kita untuk tetap bersikap optimistis dan berpikiran positif bahwa Indonesia semakin maju, utuh, dan kukuh.
Tiada tempat bagi sikap pesimistis dan pikiran negatif.
Rakyat kiranya membutuhkan pemimpin yang bersikap optimistis dan berpikiran positif.
Sumber : mediaindonesia.com