Syekh Muhammad Ja’far Abdul Qodir Al Mandili, Relasi dan Ulama Sezaman

Syekh Muhammad Ja’far Abdul Qodir Al Mandili, Relasi dan Ulama Sezaman

ZAMAN dan generasi yang tidak tersentuh oleh cahaya Islam niscaya akan dirundung kegelapan akal dan kebutaan nurani, dan itu berarti menuju arah kesesatan yang mengerikan.

Bersyukur! Ajaran Islam dan pesan-pesan Nabi sampai dengan damainya di Madina kini. Saat dimana kompleksitas dan tantangan hidup makin dipenuhi aneka problema duniawi akhir Zaman. Keberkahanlah meliputi negeri “Serambi Mekkah”, negeri yang diiringi doa dan restu para ulama.

Agama Islam menempatkan ulama pada kedudukan tinggi dan mulia. Bukan disebabkan ketinggian ilmunya atau karena status sosialnya terpandang, tetapi karena mereka memiliki kekuatan moral mengayomi, membimbing serta mempunyai kepedulian tulus terhadap kesulitan dan persoalan-persoalan umat.

Aktivitas perjuangan dan tujuan para ulama bukan untuk mengambil kedudukan dan kepentingan pribadi. Semuanya semata-mata demi kemaslahatan umat dan ridho Ilahi.

Secara defacto, sosok Syekh Ja’far adalah pendatang dari negeri Arab. Namun, perspektif primordial beliau berdarah Mandailing. Tidak ada kendala berarti ketika memulai hidupnya di lingkungan baru, yang tentu saja sangat jauh berbeda ketika dengan keluarganya di Makkah.

Identitas Tuan Syekh dari Mekkah merupakan citra tersendiri yang membuatnya mudah dikenal. Selaku putra Syekh Abdul Qodir, ulama Masjidil Haram, gurunya guru-guru yang pernah belajar di Makkah. Sudah barang tentu kenal dekat dengannya dan memberikan ruang lebih leluasa untuk beradaptasi dan berinteraksi dengan berbagai kalangan.

Terlebih lagi jurusan pendidikan yang dikembangkan Syekh Ja’far sangat spesial, yakni tahfiz, membumikan kitab suci umat Islam di Madina. Suatu bidang yang menambah preferensi atau pilihan jurusan ilmu Islam saat itu bagi orang-orang pembelajar Islam.

Relasi dan Ulama Sezaman

Saat Syekh Muhammad Ja’far menginjakkan kaki di Madina sekitar tahun 1920-an, sudah ada beberapa ulama panutan atau yang melakukan aktivitas pendidikan Islam. Pesantren Musthofawiyah satu-satunya pilihan sekolah agama Islam di Tapanuli pada saat itu sudah berdiri lebih 5 tahun sejak tahun 1915 M. Di beberapa wilayah atau kampung sudah ada guru-guru mengaji.

Tidak ada perselisihan dan persaingan sesama ulama. Mereka saling mengagungkan dan saling mengedepankan satu sama lain. Selaku pewaris Nabi, adab dan tata krama mereka penuh ta’zim merujuk akhlak Rasulullah. Tidak ada guru yang merasa lebih tahu dari yang lain, apalagi saling menyalahkan atau saling merendahkan orang lain. Akhlak Islami yang agung demikian mewarnai nuansa dunia keulamaan di Madina pada saat itu.

Dengan ulama-ulama yang telah wafat pun tidak dilupakan, dengan takzim diziarahinya. Apabila berkunjung ke Panyabungan Julu, Syekh Ja’far selalu menziarahi makam Syekh Sulaiman Al Kholidy, ulama sufi yang mengembangkan tarekat di Hutapungkut.

BACA JUGA: 

Syekh Ja’far selalu menziarahi makam Syekh Abdul Muthalib di Manyabar. Bahkan, apabila berkunjung ke Medan, Syekh Ja’far tidak akan melewatkan ziarah ke Basilam, makam dan keturunan Syekh Abdul Wahab Rokan, Mursyid, dan pengembang tarekat Naqsyabandi di Sumatera Timur.

Akhlak dan etika demikian sangat lazim dan merupakan tradisi adab sesama ulama berpaham Ahlul Sunnah Waljama’ah (Aswaja). Terlebih lagi terhadap guru, khidmat dan tabbaruk merupakan prinsip dasar keyakinan agar berhasil dan berkah ilmu yang dipelajarinya dari guru.

Kehidupan sehari-hari Syekh Ja’far bergelut dengan dinamika sosial masyarakat. Seluruh kalangan adalah potensi sekaligus pihak yang memerlukan cahaya ilmu agar kapasitasnya sesuai dengan tuntunan agama.

Di antara ulama sezaman Syekh Muhammad Ja’far adalah yang mulia Syekh Abdul Muthalib, Manyabar, Panyabungan (1874-1937), seorang ulama sufi yang mukim dan belajar selama 10 tahun di Makkah. Selain belajar ilmu di Masjidil Haram, beliau belajar tariqat Naqsabandiyah di Jabal Qubeis, Makkah. Kembali ke Manyabar pada tahun 1923. Hampir bersamaan dengan tibanya Syekh Ja’far di Panyabungan.

Kemudian relasi persahabatan dan kekeluargaan yang sangat erat dengan Syekh Musthafa Husein (1886-1955) di Purbabaru, ulama terkemuka Madina. Setelah selesai belajar dari Makkah, Syekh Mustafa Husein mendirikan pesantren yang paling terkenal di Sumatera tahun 1915, yaitu Musthofawiyah Purbabaru.

Syekh Mustofa Husein kelahiran 1886 M, sedangkan Syekh Muhammad Ja’far lahir tahun 1896 M. Dari segi umur, Syekh Mustofa Husein lebih tua 10 tahun. Syekh Mustofa Husein adalah murid Syekh Abdul Qodir Al Mandili bin Shobir (ayah Syekh Ja’far)  ketika di Makkah.

Relasi di antara kedua ulama ini bukan saja karena jalinan persahabatan abang-adik seperguruan. Namun, kesamaan misi pergerakan pendidikan Islam di Madina juga membuat mereka layaknya ulama dua serangkai di organisasi dan aktivitas kemasyarakatan di Madina.

Relasi bertambah diperkuat lagi oleh ikatan perkawinan Kholik Mustafa (putra Syekh Mustafa Husein) dengan Yani’ah Ya’qub (putri Syekh Muhammad Ya’qub), adik kandung Syekh Ja’far. Dengan sendirinya prinsip kekerabatan Dalian Natolu adat Mandailing membuat kedua pihak diikat oleh “mora-anakboru”.

Syekh Muhammad Ya’qub Abdul Qadir Al Mandili (1914-1984) ketika waktu muda datang menyusul dan tinggal bersama abangnya di Panyabungan II. Syekh Ya’qub sempat mengajar di Pesantren Mustofawiyah Purbabaru sebelum kemudian berdomisili di Kampung Bargot, Hutasiantar, Panyabungan.

Syekh Ya’qub juga aktif dalam perjuangan kemerdekaan dengan menjadi anggota Dewan Pertahanan Kabupaten Batanggadis pada 1945-1950. Beliau juga berkecimpung dalam politik melalui pencalonannya sebagai anggota konstituante dengan tanda gambar Ka’bah pada Pemilu 1955.

Selain itu, Syekh Ja’far menjalin hubungan dan berinteraksi dengan beberapa ulama dan pemuka masyarakat lainnya, baik yang lebih senior maupun lebih muda. Mereka tokoh-tokoh pencerah, ulama pembimbing yang sezaman dengan Syekh Ja’far lainnya seperti Syekh Abdul Majid (1805-1939), Pagaran Tonga, Kayulaut.

Kemudian, Syekh Hasan Lubis, Saba Dolok, Kotanopan (1888 -1953); Syekh Abdul Jalil, Runding (wafat 1937); Syekh Abdul Hamid Lubis, Adianjior (1882-1962); Syekh Junaid Thola Rangkuti (1886-1948) Hutanamale; Syekh Abdul Latif, Panyabungan Julu (1880-1953).

Selain itu,  Syekh Abdul Halim Khotib atau Tuan Naposo (1901-1991), Purbabaru; Syekh Ali Hasan Ahmad Addary, Pintupadang, Siabu (1915 -1998); Syekh H. Bahauddin bin Abdullah (1900-1984) Simaninggir; Syekh Abdul Wahab (1919-1991) Muaramais; Syekh Zainuddin Musa (1909-1991) Purbabaru, dan lain-lain.

Aktivitas Pergerakan dan Kemasyarakatan

Ulama pada dasarnya adalah pemimpin masyarakat. Sebab, ilmu yang mereka miliki selalu tepat guna dan aplikatif. Tugas ulama hampir tanpa batas, luas tak kenal waktu. Mereka mengajar, membimbing, membina, mengarahkan, menggerakkan, dan lain sebagainya di segala aspek kehidupan secara lahir, batin, dunia, dan akhirat.

Pada saat-saat tertentu, kepemimpinan informal ulama sering lebih berpengaruh ketimbang kepemimpinan formal. Contohnya, sektor pertanian yang merupakan mata pencaharian utama masyarakat Madina tak luput dari perhatian Syekh Ja’far . Hampir setiap keluarga di Mandailing memiliki sawah garapan pada saat itu.

Syekh Ja’far telibat melakukan koordinasi jadwal masa tanam dengan para petani. Pada saat tertentu diumumkan imbauan agar masyarakat mulai menanam secara serentak. Sebab, menanam padi secara berjamaah, selain lebih tahan hama, hasilnya juga akan lebih memuaskan dan berkah.

Sejak zaman kolonial sampai zaman era kemerdekaan Indonesia, para ulama selalu tampil mengiringi dinamika dan proses perjuangan rakyat. Syekh Ja’far dan ulama-ulama sezamannya di Panyabungan juga tampil merespon secara moral politik dan turut menyusun barisan mengusung kemerdekaan dan mempertahankannya.

Tuan Ja’far aktif di organisasi yang bersifat lokal yang dipimpin Syekh Mustafa Husein, yaitu Al-Ittihadiyah lslamiyah (AII). Anggota AII mayoritas terdiri dari alumni Pesantren Mustofawiyah. Tuan Ja’far juga bersama-sama dengan Syekh Mustafa Husein merupakan pengurus di Majelis Islam Tinggi Tapanuli. Mereka aktif di Partai Masyumi serta duduk di Organisasi Jihad Batanggadis, dan lain-lain.

Semua aktivitas itu merupakan bentuk perhatian besar Syekh Ja’far dan keterlibatan konkrit para ulama dalam upaya mengimpun potensi umat Islam dan untuk Islam.

Tabliq Akbar Kemerdekaan dan NU

Pada saat itu, infrastruktur komunikasi dan transportasi masih sangat minim dan memprihatinkan. Berita seputar perkembangan di pusat atau Jawa butuh lama untuk sampai di Panyabungan. Berita kemerdekaan dan ditail-ditail faktanya beberapa bulan baru jelas pasti di Panyabungan.

Sebagai perwujudan kesamaan sikap politik terkait Proklamasi Rapublik Indonesia (RI) 17 Agustus 1945 di Jakarta, kemudian masyarakat Tapanuli meresponnya dengan positif penuh rasa syukur. Maka pada tahun 1946, para pemuda, pemuka, dan tokoh masyarakat yang diprakarsai Mustaha Husein dan Syekh Ja’far menyelenggarakan tabligh akbar di Panyabungan.

Madrasah Mardiyah Islamiyah Panyabungan.

Acara tabliq akbar dilaksanakan di Madrasah Mardiyah Islamiyah (MMI) Panyabungan. Madrasah yang dibangun dan diasuh oleh Syekh Ja’far sejak tahun 1935. Madrasah MMI adalah hasil interaksi dan wujud misi Syekh Ja’far mendidik masyarakat tingkat dasar dan menengah di Panyabungan dengan Mangaraja Runding, seorang bangsawan yang dermawan yang rela mewakafkan tanahnya untuk mendirikan madrasah MMI.

Inti dari tabliq akbar adalah seruan pernyataan sikap atas kemerdekaan RI dan sebagai ungkapan rasa syukur seluruh komponen dan lapisan masyarakat Tapanuli.

Dari tabligh akbar Panyabungan pada tahun 1946, tercetus keputusan bersama untuk melaksanakan Kongres Kaum Muslimin se-Tapanuli. Kemudian kongres terlaksana pada Februari 1947 di Padangsidimpuan, dihadiri oleh pemuka-pemuka agama Islam, ulama, dan pemuda Islam dari berbagai pelosok di Tapanuli.

Ada dua keputusan mendasar dari Kongres Kaum Muslimin se-Tapanuli pada 1947. Pertama, para ulama yang berpaham ahlussunnah waljamaah sependapat untuk membentuk organisasi Islam yang bersifat nasional dengan nama Nahdlatul Ulama (NU). Kedua, organisasi yang bersifat lokal seperti Al-Ittihadiyah lslamiyah (AII) dan empat cabang Al Jamaah’yat Al Wasliyah dilebur menjadi NU.

Kongres ini merupakan keputusan formal dan sebagai momentum berdirinya NU di Sumatera Utara. Prosesnya bermula dari Panyabungan.

Seruan dan Mengajak Umat

Aktivitas pergerakan penting dari Syekh Ja’far terlihat pada masa agresi Belanda. Sesudah Indonesia merdeka, Belanda dan sekutunya hendak kembali menjajah Indonesia, maka terjadi peristiwa agresi militer.

Itu sebabnya, pada tahun 1948, Syekh Ja’far bersama Syekh Mustafa Husein dan H. Fakhruddin Arif menandatangani maklumat seruan fatwa bahwa wajib (fardu’ain) bagi setiap muslim yang mukalaf mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda. Seruan ini dilanjutkan dan diikuti oleh para tokoh dan pemuka agama wilayah-wilayah lain di Tapanuli dan Sumatera Timur.

Selanjutnya, menjelang Pemilu 1955, Syekh Musthafa Husein bersama Syekh Ja’far dan Syekh Ja’qub membuat dan menandatangani amanat tertulis pada 24 September 1955. Amanat ini terdiri atas lima poin. Poin kelima terdiri tiga ayat. Pada ayat kesatu berbunyi “(a) peliharalah agamamu, i‘tikadmu dan pahammu dengan tjara memperdjuangkan kemenangan partai yang mempertahankan i’tikad Ahlussunnah wal djama‘ah dan mazhab jang empat.” (***)

OLEH: Muhammad Syurbainy Nasution (bagian 2 dari 3 tulisan).

Komentar Anda

komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll To Top
Request Lagu
Loading...