INDONESIA mestinya tidak berpangku tangan atas persoalan akut yang dihadapi muslim Rohingya, kelompok etnik minoritas yang terusir dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Persoalan Rohingya menyangkut tragedi kemanusiaan sehingga Indonesia harusnya terpanggil untuk turun tangan. Turun tangan bukan karena Rohingya etnik muslim dan Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Persoalan kemanusiaan di Rohingya sudah menjadi masalah bersama umat manusia yang menembus batas-batas administrasi negara.
Disebut sebagai tragedi kemanusian karena etnik Rohingya bernasib paling sial di atas muka bumi ini. Mereka tidak punya tanah asal dan secara politik tidak diakui kewarganegaraannya oleh negara tempat mereka bertempat tinggal. Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut warga Rohingya sebagai kelompok paling teraniaya dan jauh lebih buruk ketimbang warga kulit hitam saat apartheid diberlakukan di Afrika Selatan.
Patut diduga saat ini sedang berlangsung upaya mengenyahkan kelompok minoritas Rohingya melalui pembersihan etnik. Minoritas Rohingya telah menghadapi diskriminasi, penindasan, dan kekerasan selama bertahun-tahun. Konflik komunal yang baru-baru ini dialami kaum Rohingya merupakan sumber keprihatinan yang mendalam. Human Rights Watch (HRW) melaporkan 70 orang Rohingya tewas dan 400 orang lainnya ditangkap dalam operasi militer Myanmar untuk mengejar pemberontak pada sebulan terakhir. Tidak sedikit dari mereka yang mengungsi.
Apakah kita, sebagai bangsa yang cinta damai, tetap berpangku tangan atas rentetan penderitaan etnik Rohingya? Jawabannya, tidak. Indonesia sebagai negara yang cinta damai harus turun tangan. Dalam jangka pendek, Indonesia perlu melobi pemerintah Myanmar untuk membuka jalur bantuan kemanusiaan ke Negara Bagian Rakhine. Kementerian Luar Negeri Indonesia sudah mendapatkan jaminan untuk itu, tinggal memobilisasi bantuan makanan, pakaian, dan obat-obatan untuk etnik Rohingya.
Dalam jangka menengah, sebaiknya Indonesia memelopori mencarikan penyelesaian menyeluruh atas tragedi Rohingya. Kunci utama menyelesaikan persoalan Rohingya ialah adanya pengakuan atas Rohingya sebagai anak kandung yang sah negera Myanmar. Dengan demikian, etnik muslim Rohingya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan mayoritas Buddha di Myanmar.
Untuk mendapatkan pengakuan Rohingya sebagai anak kandung Myanmar, Indonesia bisa mengerahkan seluruh kemampuan diplomasi di level ASEAN ataupun internasional. Jangan biarkan Rohingya selamanya stateless, tidak diterima sebagai warga negara karena mereka dianggap sebagai pendatang gelap dari Bangladesh walaupun sudah hidup di Myanmar selama berabad-abad.
Penyelesaian Rohingya dalam jangka panjang tentu saja dengan mendorong Myanmar menjadi negara demokrasi. Kita percaya, sangat percaya, demokrasi satu-satunya solusi penyelesaian beradab atas setiap persoalan etnik Rohingya. Myanmar meniti demokrasi baru seumur jagung setelah lama dikuasai rezim militer. Pemerintah Indonesia bisa mendorong Myanmar untuk mengelola persoalan Rohingya dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dan penghormatan pada hak asasi manusia. Hanya dalam iklim demokrasi, muslim Rohingya yang minoritas dan Buddha yang mayoritas di Myanmar bisa hidup berdampingan.
Pelajaran terpenting dari tragedi Rohingya ialah negara jangan sekali-kali membiarkan sekelompok orang, dari kalangan mayoritas sekalipun, memonopoli kebenaran apalagi atas nama agama. Muslim Rohingya kini menjadi ‘monumen hidup’ minoritas yang menjadi korban monopoli kebenaran atas nama agama mayoritas.
Sumber : media indonesia.com
Editor : Hendra Ray