MUSIK & INFORMASI SIANG – Rencana penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang (Perppu) tentang hukuman kebiri untuk pelaku kejahatan seksual terhadap anak, dikritik oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan jaringan para korban. “Yang darurat itu penanganan korban, bukan hukuman mati, kebiri atau hukuman lainnya,” ujar peneliti ICJR, Erasmus Napitulu dalam diskusi bertema “Pidana Kebiri: Negara Tanpa Solusi?” di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta Pusat, Senin 23 Mei 2016.
Menurut Erasmus, hukuman kebiri tidak akan menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual yang ada saat ini dan justru dapat memicu tindakan yang lebih brutal akibat dendam pelaku. Apalagi, proses pengebirian yang ditawarkan oleh pemerintah cukup rumit dan memakan biaya yang tinggi.
Untuk itu, Erasmus menyarankan agar pemerintah lebih mengutamakan rehabilitasi korban ketimbang menghukum pelaku. “Kalau kita ketemu dan lihat kondisi korban, ga bakal mikirin pelaku lagi,” ujar Erasmus.
Erasmus juga mengkritik pernyataan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa yang membandingkan hukum kebiri di negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, Korea Selatan dan Jerman. Ia mengklaim berdasarkan risetnya, negara yang disebutkan oleh Khofifah sudah tidak lagi menerapkan kebiri. Terlebih, menurut Erasmus, negara yang telah disebutkan oleh Khofifah justru tercatat sebagai 10 besar negara dengan tingkat pemerkosaan tertinggi berdasarkan data World Rape Statistic.
Sejak awal dibahas, Perppu untuk memberatkan hukuman terhadap pedofilia ini memang sudah menuai kritik dari kalangan aktivis Hak Asasi Manusia. Meski begitu, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pada 19 Mei 2016 mengatakan bahwa perppu tersebut sudah disetujui pemerintah dan tinggal ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo sebelum diteruskan ke Dewan Perwakilan Rakyat.