Figur – Majalah TIME baru-baru ini merilis daftar orang paling berpengaruh dunia 2021 dalam enam kategori. Keenam kategori tersebut adalah ikon, pionir, titan, artis, pemimpin, dan inovator. Menariknya, satu dari daftar 100 orang tersebut merupakan seorang ilmuwan Indonesia, yaitu Adi Utarini dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Adi merupakan lulusan Fakultas Kedokteran UGM 1989. Ia kemudian melanjutkan studinya di bidang kesehatan ibu dan anak dari University of College London pada 1994. Pada 2002, ia sukses meraih gelar doktor dari Umea University, Swedia.
Sembilan tahun kemudian, Adi dianugerahi gelar profesor di bidang kesehatan masyarakat pada 2011. Di bidang pelayanan kesehatan, Adi memimpin divisi mutu untuk Ikatan Rumah Sakit Indonesia dan redaktur utama jurnal Akreditasi Rumah Sakit. Adi juga sempat menjabat sebagai wakil dekan bidang penelitian, pengabdian masyarakat, dan kerja sama di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM (2012-2016).
Hingga saat ini, Adi juga masih aktif sebagai anggota Dewan Riset Nasional.
Penelitiannya berfokus pada manajemen pengendalian penyakit dan kualitas perawatan kesehatan. Ia juga bekerja sama dengan peneliti global dalam World Mosquito Program untuk mengekang ancaman demam berdarah dengue (DBD) dengan menginokulasi nyamuk dengan Wolbachia. Wolbachia merupakan bakteri yang tidak berbahaya bagi manusia, tetapi dapat mencegah nyamuk menularkan demam berdarah melalui gigitannya.
Terobosan ini pun terbukti sukses menurunkan tingkat penyakit DBD di lingkungan masyarakat.
Mengetahui namanya masuk dalam jajaran 100 orang paling berpengaruh dunia 2021, Adi hanya bisa menyampaikan rasa syukur.
“Bersyukur, itu buat saya kan artinya apa yang dirintis oleh seluruh tim WMP (World Mosquito Programme) Yogyakarta sejak 2011 sampai dengan saat ini diapresiasi, dihargai dan disemangati oleh berbagai pihak,” kata Adi.
Ia pun tak pernah berpikir bahwa namanya akan disejajarkan dengan orang penting dunia.
Menurutnya, ia hanya berusaha mengerjakan penelitian tersebut dengan sebaik-baiknya. “Saya tidak ingin hal-hal (penghargaan dan apresiasi) seperti ini membuat kita lengah, lalu kita sombong, lalu kemudian juga kita menganggap penelitian ini sudah sangat sempurna, itu tidak,” imbuhya.
Sumber: Kompas.com