HM Ali Hanapiah Lubis, Perintis Kemerdekaan Indonesia Asal Sayur Maincat

HM Ali Hanapiah Lubis, Perintis Kemerdekaan Indonesia Asal Sayur Maincat

ASKOLANI (Penulis dan Budayawan)

SAYA pertama mengenalnya tahun 1978. Usia saya 12 tahun ketika itu. Ia datang ke rumah, naik mobil Jeef warna hijau lumut. Datang ke rumah dari Medan, mencari surat penangkapan Ayah kami, Ahmad Nasution oleh Belanda. Mereka memang satu penjara di Sukamiskin, Bandung tahun 30-an. Tentu karena terlibat upaya pemberontakan. Saat yang sama, Soekarno juga dipenjara di sana. (Karena itu, ketika Soekarno ke Kotanopan tahun 1948, Soekarno mencari ayah kami dan H. Mahals)

Mahals membongkar lemari kami, lembar demi lembar arsip. Ketemu surat itu. Lalu ia bawa ke Jakarta, bertemu Mensos waktu itu, Nani Sudarsono. Dengan berkas yang dibawanya, ayah kami ditetapkan sebagai Perintis Kemerdekaan bersama tokoh-tokoh lain asal kotanopan sekitar. H. Mahals ketika itu ketua Perintis Kemerdekaan Sumatera Utara yang berkantor di Gedung Juang 45, Medan.

Beliau juga yang mendorong agar para keluarga perintis mendapat bantuan rumah dari Mensos, dan banyak bantuan lainnya.  Tentu juga pendidikan gratis dan perhatian lainnya. (Dulu, keluarga pejuang memang amat dihormati. Itu masa ketika generasi 45 masih dominan di pemerintahan).

Karena itu, H. Mahals berkali-kali ke rumah kami, tentu juga kami berkali-kali ke rumahnya di Gang Sado, Medan. Ia juga yang mendorong agar Tugu Perintis Kemerdekaan Sumatera Utara dibangun di Kota Nopan. Karena semua pusat pergerakan kemerdekaan masa kolonial di Sumatera Utara adanya di Kota Nopan. Bukan di tempat lain.

Mahals. Lahir di Sayur Maincat tahun 1914. Mulai sekolah goverment kelas II (lima tahun) di Kotanopan tahun 1927. Tamat dari sana, ia masuk Madrasah Tsanawiyah di Bukit Tinggi tahun 1933. Selama sekolah ia menjadi ketua PB Himpunan Pemuda Islam Indonesia Bukit Tinggi. Dari Bukit Tinggi ia membentuk cabang organisasi di Mandailing. Pusat gerakannya di Subulus Salam Sayur Maincat.

Bulan Agustus 1933, ia ditangkap di Bukit Tinggi. Tentu bersamaan dengan penangkapan tokoh-tokoh pergerakan lain di Kotanopan, dan ribuan orang tokoh pergerakan lain di berbagai daerah lain. Penangkapan di kawasan Mandailing karena ada yang terlibat menghasut orang untuk merdeka, ada karena melanggar ranjau bicara dalam rapat umum, ada juga karena terlibat pengeboman Jembatan Muara Mais.

Mahals kemudian dipenjara di Sukamiskin, Bandung hingga tahun 1936. Lepas dari Sukamiskin, ia kembali ke Medan dan menjadi Sekretaris Umum Badan Pembela Islam di sana hingga tahun 1941.

Ketika Masyumi terbentuk, ia menjadi Sekretaris Umum Masyumi Pematang Siantar hingga tahun 1946. Tahun 1946-1949 menjadi Ketua Umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia Pematang Siantar.

Tahun 1950-1951, anggota penasehat Panitia Persiapan Negara Kesatuan Sumatera Timur. Melalui Pemilu 1955, ia menjadi amggota konstituante dari Fraksi Masyumi, hingga Dekrit Presiden 1959 ketika Soekarno membubarkan parlemen.

Selain sebagai politisi, H. Mahals juga sebagai jurnalis. Tahun 1931-1933, Pemred Majalah HPI di Bukit Tinggi. Tahun 1936-1942, redaktur harian “Sinar Deli”, Medan. Ia juga pemimpin tetap di Majalah “Medan Islam”, majalah *Pandji Islam”, dan “Dewan Islam”.

Setelah merdeka, ia menjadi Pemred Harian “Islam Berdjoeang”. Tahun 1946-1947, pemred “Suara Rakjat” dan majalah bulanan “As Siasah”.

Saya tahu bagaimana perjuangannya untuk mensejahterakan keluarga para pejuang Perintis Kemerdekaan hingga akhir hayatnya. Bukan hanya berdebat, tetapi membentak menteri, gubernur, dan pangdam jika menyangkut kesejahteraan para pejuang. Itu zaman ketika ketika ketulusan berjuang masih jadi prioritas. (***)

Komentar Anda

komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll To Top
Request Lagu
Loading...