Pojok Redaksi – PEMBENAHAN lembaga pemasyarakatan (LP) selama ini tidak pernah tuntas. Tidak tuntas karena pembenahan tidak menyentuh akar masalah. Pembenahan itu ibarat mengobati sakit kepala dengan obat penghilang rasa nyeri. Setelah pengaruh obat hilang, penyakitnya kambuh lagi.
Penyakit yang sering kambuh di LP, antara lain adanya pungutan liar, bilik bercinta, perlakuan khusus dan sel mewah bagi koruptor serta narapidana berduit lainnya, peredaran narkoba yang dikendalikan dari dalam LP, pemberontakan para narapidana, dan berkeliaran bebasnya narapidana saat memanfaatkan izin berobat.
Kasus teranyar ialah tersebarnya foto terpidana korupsi Setya Novanto tengah bersama istrinya, Deisti Astriani Tagor, di sebuah toko bangunan di daerah Padalarang, Bandung Barat, pada Jumat (14/6).
Sebelum berada di Padalarang, Novanto memperoleh izin perawatan karena keluhan kesehatan pada jantung. Sejak Rabu (12/6), mantan Ketua DPR itu dirawat di Rumah Sakit Santosa, Bandung. Semestinya pada Jumat siang, Novanto dijadwalkan kembali ke LP Sukamiskin. Namun, seusai pemeriksaan, Novanto meminta izin untuk membereskan administrasi bersama istrinya tanpa pengawalan. Ternyata mantan Ketua Umum Partai Golkar itu keluyuran sampai Padalarang selama 4 jam.
Pada akhir April 2019, Novanto juga kedapatan sedang bersantap di rumah makan padang, padahal yang bersangkutan mendapat izin berobat ke RSPAD Gatot Soebroto karena keluhan penyempitan pembuluh darah, vertigo, hingga jantung koroner.
Penyalahgunaan izin berobat yang dilakukan Novanto hanyalah fenomena puncak gunung es permasalahan LP di negeri ini. Sebenarnya akar masalahnya sangat besar, tetapi tidak kelihatan karena tersembunyi atau malah sengaja disembunyikan.
Boleh-boleh saja Novanto dipindahkan dari LP Sukamiskin ke LP Gunung Sindur di Kabupaten Bogor yang memiliki pengamanan ekstra ketat. Akan tetapi, pemindahan itu hanya ibarat mengobati sakit kepala tanpa mendeteksi penyakit yang menjadi penyebab utamanya kalau dilakukan secara parsial.
Penyakit utamanya ialah integritas. Persoalan yang perlu dituntaskan sudah tertuang dalam kajian tata kelola sistem pemasyarakatan yang dilakukan KPK pada 2018 setelah operasi tangkap tangan terhadap Kepala LP Sukamiskin Wahid Husein, yakni lemahnya pengawasan dalam proses kunjungan, lemahnya mekanisme kontrol, izin berobat, dan jual-beli fasilitas. Penyakitnya sudah diketahui, tetapi sepertinya sengaja dipelihara untuk mendapatkan keuntungan dari transaksi di ruang gelap.
Pemindahan koruptor ke LP dengan pengamanan super maximum security hendaknya menjadi kebijakan yang baku untuk semua terpidana korupsi kakap. Di sana mereka mendekam di dalam sel seorang diri.
Konsep membatasi ruang gerak itu semata bertujuan memperbaiki diri koruptor. Sel seperti ruangan isolasi di LP super maximum security dapat menimbulkan efek jera sehingga koruptor tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Konsep ini sejalan dengan kajian KPK bahwa ternyata melalui terapi tidak berbicara dengan sesama manusia selama berbulan-bulan, itulah yang menjadi penderitaan yang pada akhirnya seseorang itu menyesali perbuatannya secara sungguh-sungguh.
Tidak kalah pentingya ialah pegawai LP juga perlu memiliki integritas yang baik agar tidak bisa disuap. KPK menemukan bahwa pengajuan remisi justru menjadi celah pemerasan terhadap narapidana. Selain itu, KPK menemukan bahwa koruptor yang dieksekusi ke LP umum mendapatkan perlakuan istimewa karena mereka bisa menyuap orang-orang di sekelilingnya.
LP ialah bagian yang tak terpisahkan dari sistem peradilan. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, selain berfungsi sebagai tempat untuk melaksanakan penghukuman, LP juga berfungsi sebagai tempat pembinaan narapidana.
Pembinaan terkait dengan integritas sumber daya manusia ataupun kelembagaannya. Integritas para pemimpin dan petugas LP harus ditingkatkan agar tidak terpengaruh dengan tawaran suap dari narapidana koruptor. Saatnya koruptor mendekam di dalam LP khusus dengan super maximum security.