Panyabungan, StartNews – Itak Poul-poul merupakan kudapan khas Mandailing yang menjadi salah satu Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia. Sayangnya, pedagang yang menjual kudapan ini sudah sulit dijumpai di pasar-pasar. Ini karena pola hidup masyarakat Mandailing mulai berubah.
Dilansir dari laman food.indozone.id, dalam tradisi masyarakat Mandailing, penganan ini akan selalu dihadirkan pada momen-momen yang dianggap penting oleh masyarakat. Misalnya, pada saat menjamu tamu yang datang bersilaturahmi, menjalankan ritus memasuki rumah baru, merayakan kelahiran anak dan ritual adat pesta perkawinan.
Dalam pesta perkawinan, penganan ini akan menjadi salah satu oleh-oleh atau hantaran yang wajib dibawa keluarga mempelai laki-laki pada saat mangalap boru (menjemput pengantin wanita).
Di luar momen-momen penting tersebut, Itak Poul-poul dulunya biasa dijajakan di pasar-pasar dan beberapa kedai kopi tradisional. Akan tetapi, seiring perputaran waktu dan perubahan pada masyarakat Mandailing, kudapan khas ini mulai hilang dan makin susah ditemukan di pasaran. Ini disebabkan berubahnya pola hidup masyarakat Mandailing.
Sekarang orang tidak suka lagi terhadap sesuatu yang sulit dan berbelit-belit. Kemungkinan juga disebabkan tren makanan instan yang diproduksi secara massal oleh perusahaan besar, semisal mi instan ataupun roti dan biskuit yang menggantikan Itak Poul-poul sebagai pendamping pada saat minum kopi.
Padahal, penganan ini syarat makna filosofis, mulai dari penamaan, bahan-bahan hingga cara membuatnya, sehingga perlu untuk dilestarikan ke anak cucu kelak.
Melansir dari laman Kemdikbud, dalam terminologi bahasa Mandailing, Itak merupakan sebutan untuk penganan atau kue tradisional berbahan dasar tepung. Sementara Poul adalah kepal. Jadi, bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia, maka Itak Poul-poul berarti penganan atau kue yang dikepal.
Dinamai demikian, karena cara pembuatannya menggunakan tangan. Kue ini dibentuk dengan cara dikepal, tidak menggunakan cetakan sebagaimana kue lainnya. Bahan dasar pembuatan kue ini juga sederhana, hanya terdiri dari tepung beras, gula aren, kelapa parut, dan garam. Namun, ada makna mendalam yang terkandung pada empat bahan dasar tersebut.
Sebagaimana tepung beras yang berwarna putih harus mencerminkan hati yang bersih dari orang yang membuat maupun yang menghantarkan penganan ini pada saat momen-momen penting. Gula aren dengan rasanya yang manis, mengandung makna setiap orang wajib untuk menjalin hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yang harmonis.
Adapun parutan kelapa yang melambangkan simbol kemanfaatan pada masyarakat Mandailing. Seperti pohon kelapa yang bukan haya buahnya tetapi dari ujung akar sampai ke ujung dapat memberikan manfaat. Begitupun semestinya dengan seorang manusia yang hidup di tengah-tengah komunitasnya.
Kemudian rasa asin yang terkandung di dalam garam. Dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat kita pasti akan berhadapan dengan hal-hal ataupun kejadian-kejadian yang tidak kita inginkan. Namun semua itu harus dihadapi dan dirasakan bersama.
Sebagaimana asinnya garam yang justru menyempurnakan rasa pada setiap masakan, begitupun dengan sesuatu hal atau kejadian yang tidak kita inginkan tersebut, justru itulah yang membuat kehidupan kita lebih bermakna.
Selain bahan dasarnya, cara pembuatan Itak Poul-poul dengan menggunakan kepalan tangan pun memiliki makna filosofis. Kepalan tangan merupakan simbol persatuan dan kekuatan. Bagi masyarakat Mandailing persatuan itu amatlah penting, sebagaimana juga yang tercermin pada sistem kekerabatan Dalian Na Tolu. Pada saat bersatu akan terwujud sebuah kekuatan.
Oleh karena itu, eksistensi Itak Poul poul ini harus tetap terjaga dan dilestarikan, bukan karena faktor nilai ekonomisnya, tetapi dari segi maknanya yang dapat memperkenalkan budaya Mandailing. (*)