Pojok Redaksi- Kampanye sebagai salah satu bagian terpenting dalam gelaran Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 belum juga berkelas. Kampanye yang semestinya menjadi ajang jualan ide dan gagasan yang cemerlang masih saja dibajak para penebar kesesatan.
Kampanye untuk Pilpres 2019 telah bergulir sejak 23 September silam atau sudah tiga bulan lebih berlangsung. Namun, selama kurun waktu yang tak lagi terbilang singkat itu, kampanye belum berjalan di jalur yang benar. Kampanye masih saja menyimpang dari tujuan, yakni bagaimana meyakinkan pemilih dengan tawaran-tawaran program yang mengedepankan kebenaran serta membangkitkan semangat kemajuan.
Selama tiga bulan lebih kampanye dihelat, kampanye ramai dengan narasi-narasi kebohongan. Kekeliruan berlogika dalam argumen-argumen politik pun bertebaran. Celakanya lagi, tak cuma para pendukung ataupun tim sukses, kampanye sesat nalar itu tak jarang dipertontonkan pelaku utama dalam kontestasi.
Cukup sering publik disuguhi orasi-orasi keliru. Ambil contoh, capres nomor urut 02 Prabowo Subianto beberapa kali menyodorkan narasi yang sarat sensasi dan memancing kontroversi. Dia, misalnya, mengatakan Indonesia akan bubar pada 2030 hanya dengan pijakan sebuah novel fiksi.
Prabowo juga pernah menyebut bahwa yang menikmati kekayaan Indonesia kurang dari 1%, sedangkan 99% rakyat hidup pas-pasan, bahkan sangat sulit. Prabowo pernah pula mengatakan Indonesia akan punah kalau dirinya kalah dalam pilpres. Kemudian, baru-baru ini, dia mengungkapkan Indonesia setingkat dengan negara-negara miskin di Benua Afrika.
Di depan ribuan jemaah Majelis Tafsir Alquran di Surakarta, Minggu (23/12), Prabowo menyejajarkan Indonesia dengan Rwanda, Sierra Leone, Haiti, Chad, dan pulau-pulau kecil yang tidak diketahui letaknya. Mereka ialah negara-negara miskin, sangat miskin. Artinya, menurut Prabowo, Indonesia juga merupakan negara miskin, sangat miskin.
Dalam kontestasi demokrasi semacam pilpres, amat jamak setiap kontestan berusaha meyakinkan pemilih untuk memilihnya. Namun, amat tidak tepat jika segala cara dilakukan, apalagi jika sampai menyebarkan kebohongan serta menebarkan pesimisme dan ketakutan.
Mengatakan Indonesia akan bubar pada 2030 hanya berdasarkan kisah dalam novel fiksi jelas tak bisa diterima nalar sebab dari kajian-kajian akademis, Indonesia justru akan semakin hebat pada tahun itu.
Menyebut 99% rakyat Indonesia hidup pas-pasan, bahkan sangat sulit, jelas menyesatkan. Pasalnya, data Badan Pusat Statistik menunjukkan rakyat miskin tinggal 25,95 juta orang dari total 266 juta penduduk.
Juga, menempatkan Indonesia setingkat dengan negara-negara miskin di Afrika semacam Rwanda, Sierra Leone, dan Chad merupakan kekeliruan besar. Dari produk domestik bruto dan pendapatan per kapita saja, Indonesia jauh di atas mereka. Pun jika dibandingkan dengan Haiti yang menurut Prabowo berada Afrika, tetapi sebenarnya masuk Benua Amerika, tepatnya di kawasan Karibia.
Kampanye ialah bagian dari instrumen pendidikan politik bagi rakyat sehingga ia harus diisi dengan praktik-praktik politik yang mendidik. Karena itu, kampanye harus mengutamakan kebenaran, bukan dengan cara-cara di luar keadaban demokrasi seperti mengedepankan retorika kebohongan dan pesimisme.
Bangsa ini haus betul akan tawaran-tawaran program yang cerdas dan berkualitas selama kampanye. Meminjam istilah pengamat politik J Kristiadi, ranah publik sudah semakin kumuh dan rusuh dengan pemelintiran dan kebohongan yang telah melebihi daya pikul masyarakat.
Kita berharap kampanye yang masih tersisa sekitar tiga bulan lagi betul-betul menjadi arena adu program bagaimana memajukan Indonesia. Rakyat ingin kampanye kian berkualitas karena bangsa ini ogah mempertaruhkan masa depan di tangan pehobi kebohongan.