Pojok Redaksi- KORUPSI memang tidak langsung menghasilkan kemiskinan. Akan tetapi, menurut teori, korupsi memiliki konsekuensi langsung terhadap tata kelola pemerintahan dan perekonomian yang pada waktunya akan melahirkan kemiskinan.
Korelasi korupsi dan , kemiskinan, pemerintahan,tampak terang benderang di Provinsi Bengkulu. Hanya dalam rentang waktu tiga bulan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan tiga kali operasi tangkap tangan di provinsi termiskin se-Sumatra itu.
Terduga pelaku korupsi di Bumi Rafflesia itu bukanlah orang sembarangan. Pada 20 Juni 2017, KPK menangkap Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dan istrinya, Lily Martiani Maddari, terkait dengan suap proyek infrastruktur.
Padahal, dua pekan sebelumnya oknum jaksa diciduk KPK. Teranyar, Rabu hingga Kamis (7/9), giliran hakim yang ditangkap KPK. Sejauh ini, sudah ada lima kepala daerah yang terjerat perkara korupsi di provinsi yang konsisten mempertahankan tingkat kemiskinan cukup tinggi, pada kisaran 18%.
Terdapat 48,7% daerah yang masih terisolasi di Bengkulu. Bengkulu menjadi contoh korupsi yang paripurna karena dilakukan gubernur, jaksa, dan hakim. Keberhasilan KPK melakukan operasi tangkap tangan tidak perlu dibanggakan secara berlebihan.
Apalagi, jika dihitung dengan penangkapan di daerah lainnya sejak Juni hingga kini, KPK sudah delapan kali melakukan operasi tangkap tangan. Operasi tangkap tangan terus-menerus itu sesungguhnya memperlihatkan sisi buram pemberantasan korupsi di negeri ini.
Disebut sisi buram karena hampir tidak ada efek jera di balik gemuruh publikasi operasi tangkap tangan. Semakin sering pejabat diciduk karena korupsi, semakin tinggi hukuman atas koruptor, ternyata korupsi tetap berjalan lenggang kangkung.
Sudah saatnya mengedepankan fungsi pencegahan dalam agenda pemberantasan korupsi. Tindakan preventif itu bertujuan mencegah dampak korupsi terhadap tata kelola pemerintahan dan perekonomian yang pada gilirannya melahirkan kemiskinan.
Korupsi pasti menggerus kapasitas pengelolaan pemerintahan yang berdampak langsung pada penurunan kualitas pelayanan publik sampai kualitas infrastrukur. Dana yang mestinya dipakai untuk membiayai kesehatan, misalnya, ketika dikorupsi bisa berpengaruh pada angka kematian ibu dan bayi.
Begitu juga dengan korupsi yang berkorelasi dengan perekonomian. Korupsi menyebabkan ekonomi biaya tinggi yang pada gilirannya menjauhkan investasi dan mengganggu pertumbuhan ekonomi.
Harus tegas dikatakan bahwa sebaik-baiknya operasi tangkap tangan, tetap jauh lebih baik mencegah terjadinya korupsi. Karena itu, KPK perlu melakukan pendampingan yang sungguh-sungguh terhadap pemerintah daerah.
Pendampingan itu bisa diprioritaskan pada empat hal, yaitu penerapan pengadaan berbasis elektronik (e-procurement), perizinan terpadu satu pintu, APBD berbasis elektronik (e-budgeting), dan efektivitas aparat pengawasan intern pemerintah.
Jika empat hal itu diawasi KPK secara cermat, niscaya tata kelola pemerintah dan ekonomi berjalan dengan baik dan benar. Di situlah celah korupsi selama ini. Elok nian setelah melakukan operasi tangkap tangan, KPK langsung melakukan pendampingan kepada pemerintah daerah.
Andai sejak awal KPK melakukan pendampingan yang efektif, mungkin tidak perlu terjadi tiga operasi tangkap tangan dalam tiga bulan di Bengkulu. Operasi tangkap tangan mestinya bisa juga ditafsirkan sebagai kegagalan mencegah korupsi yang pada gilirannya gagal mengatasi kemiskinan.