Miris, Kekerasan pada Anak Terulang Lagi

TIGA hari terakhir, kita dihebohkan kasus penganiayaan terhadap seorang anak di bawah umur. Yang membuat kita merasa geram, penganiayaan itu justru dilakukan oleh oknum pegawai Rutan Kelas II B Natal bernama Derman Gultom.

Yang bikin kita lebih miris lagi, penganiayaan terhadap remaja berstatus santri di Pondok Pesantren Musthafawiyah Purbabaru itu dipicu masalah yang relatif sepele. Hanya insiden serempetan antara mobil yang dikendarai pelaku dengan becak yang dikendarai korban di jalan desa Kampung Sawah pada Senin, 20 September 2021.

Kecelakaan serempetan kendaraan memang jamak terjadi. Insiden seperti ini bisa terjadi dimana saja, kapan saja, dan menimpa siapa saja. Akan tetapi, insiden serempetan, yang dinilai hanya menimbulkan kerugian kecil ini, justru telah menyulut emosi seorang sipir penjara. Sampai-sampai pria berbadan gagah dan tegap itu tega memukuli korbannya, seorang remaja yang tentunya tenaga dan fisiknya tidak sebanding dengan pelakunya.

Meskipun pemicunya persoalan sepele, tetapi kasus penganiayaan ini tidak boleh dianggap sepele. Jika kita melihat lebih dalam lagi, kasus ini mencerminkan sifat arogansi seorang sipir penjara kepada rakyat yang lemah. Si pelaku, yang notabene aparat penegak hukum di lingkungan penjara, justru tidak menghormati azas-azas hukum yang berlaku di negeri ini. Dia menghakimi korbannya dengan cara menganiayanya.

Apalagi korbannya masih tergolong anak di bawah umur, yang semestinya mendapat perlindungan sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-undang itu mengatur anak mendapatkan hak, perlindungan, dan keadilan atas apa yang menimpa mereka. UU Perlindungan Anak ini juga mengatur tentang ancaman hukuman bagi siapapun yang melakukan kekerasan atau penganiayaan terhadap anak. Tak tanggung-tanggung, ancaman hukumannya lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta.

Apapun alasannya, perlakuan kekerasan terhadap anak tidak bisa ditoleransi. Itu sebabnya, kita mendesak para penegak hukum di Polres Madina bertindak renponsif dan transparan dalam menuntaskan kasus penganiayaan anak ini. Polisi harus cepat menuntaskan kasus ini agar tidak timbul keresahan di tengah-tengah masyarakat.

Kita juga menuntut agar pelaku mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Sehingga, korban dan keluarganya juga mendapat rasa keadilan.

Untuk itu, kita mendesak agar Unit PPA Polres Madina mengambil alih penanganan kasus tersebut, mengingat kondisi psikis korban yang masih trauma akibat penganiayaan yang dialaminya. Pengambil-alihan penanganan kasus ini juga untuk mencegah kerumunan warga yang terus mendatangi Mapolsek Natal jika pemeriksaan pelaku dilakukan di Natal.

Selain itu, kita menuntut pejabat berwewenang di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, agar melakukan pembinaan mental dan moral terhadap para sipir penjara. Didiklah mereka agar melihat warga sebagai rakyat yang harus dilindungi. Bukan sebagai warga binaan yang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan.

Kita juga meminta instansi terkait memberikan pendampingan psikologis dan pemulihan berupa trauma healing kepada anak yang jadi korban kekerasan ini. Langkah ini penting dilakukan. Sebab, segala bentuk kekerasan terhadap anak pasti akan berdampak negatif seperti trauma fisik, psikis, dan kesulitan dalam berelasi sosial. Jika tidak segera ditangani dengan baik, dikhawatirkan akan berdampak pada perkembangan dan tumbuh kembang anak korban kekerasan pada masa depan. Untuk itu, mereka membutuhkan proses pemulihan dan pemantauan kondisi emosi serta perilaku pasca peristiwa kekerasan yang dialaminya. (Sir)

The post Miris, Kekerasan pada Anak Terulang Lagi first appeared on Start News.

Komentar Anda

komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll To Top
Request Lagu
Loading...