NURANI PANCASILA

NURANI PANCASILA

NURANI PANCASILA

OLEH : SUHERI SAHPUTRA RANGKUTI, M.Pd

MAHASISWA S3 UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

 

Bagaimana kita bicara benar tentang pancasila saat ini, di tengah porak poranda kematian jati diri anak bangsa. Saya pikir, ketajaman idealisme tidaklah cukup untuk menancapkan dan menembus tebalnya dinding egoisme. Banyak sudah di kalangan anak bangsa yang lupa isi falsafah negaranya. Boleh jadi kenyataan ini muncul dari kepentingan yang bermatarantai hingga akhirnya menemukan titik kebekuan rasa dari berbangsa dan bernegara. Kematian nurani dalam memahami falsafah negara adalah kopi pahit bagi lidah negeri ini, yang mesti ditelan meskipun memberikan rasa sesak dan nyeri di tenggorokan.

Sungguh pilu rasanya membaca dan mendengar kabar, seseorang yang hanya diduga mencuri ampli mesjid, dibakar hidup-hidup oleh massa, tanpa tabayun, tanpa klarifikasi, padahal kita tahu bersama bahwa kita adalah Indonesia, negara hukum yang berasaskan pancasila. Kita juga merasa geram, dengan melihat banyak persoalan hukum yang tidak diselesaikan secara merata padahal kita adalah pancasila. Kita mungkin lupa, dengan butir pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sebab dengan mengingat butir ini kembali, saya yakin kita tidak akan mudah main hakim sendiri dan sebagai penegak hukum tidak akan mungkin mempermain hukum lagi.

Dari kenyataan di atas, amatlah sangat penting untuk kembali meresapi nilai pancasila, agar satu nafas dengan nurani dalam membimbing prilaku dan sikap berbangsa dan bertanah air. Memang kita akui, proyek besar yang diwariskan secara turun temurun oleh pemikir bangasa ini, sedikit demi sedikit, realisasi dari warisan ini sudah mulai memperlihatkan pesonanya sejak era reformasi. Tapi, melihat fakta yang ada saat ini, saya pikir perlu untuk kembali mengupgrade dan menumbuhkan nilai-nilai nurani pancasila kembali, agar mencapai kematangan dan menjadi karakter yang tak bisa dipisahkan dari segenap elemen bangsa.

Sebelum kita menuju solusi, penting rasanya bila kita awali kegelisahan ini dengan hipotesis, kenapa nurani pancaslia lekang dari urat nadi anak bangsa?. Banyak jawaban dari hipotesis ini, namun ada dua hal urgen dan lebih marak saat ini yang layak kita jadikan sebagai jawaban dari hipotesa di atas.

Pertama, pancasila belum dipahami secara mendalam terutama di kalangan elit dan menengah. Maka, tak bisa dibendung, kurangnya pemahaman ini akan berdampak ke wilayah pedesaan, sebab mau tidak mau, rusaknya nilai pancasila di pedesaan adalah pengaruh dari kota melalui politik dan pemerintahan. ini bisa kita rasakan ketika bergejolaknya PILKADA DKI kemarin. Bahkan, PILKADA ini mampu menggoyang sampai ketingkat pedesaan. Seperti kata pepatah “bila sebuah mangga busuk digabung dalam tumpukan mangga yang lain, sekalipun tidak disuruh maka ulatnya akan pindah juga”

Kedua, masyarakat dipengaruhi oleh budaya asing dan arus globalisasi. Budaya asing ini begitu rawan dan sangat mengkhawtirkan, pada tataran ini, anak muda adalah mangsa utama untuk menggeser ideologi negara dan menyamakan dirinya dengan budaya asing, yang justru menimbulkan pertentangan dengan pancasila. Pergaulan bebas dan tanpa batas membuat sederet anak muda lupa dengan nilai-nilai luhur dan bendera negaranya.

Ketiga, runtuhnya nilai kebhinekaan tunggal ika, yakni keberagaman dalam persatuan sebagai masyarakat Indonesia yang dibangun dalam geologi kebudayaan yang berlapis-lapis dengan ciri masyarakat yang multikultural, yang memiliki banyak etnic dari sabang sampai merauke. Runtuhnya nilai ini menggusur nilai persatuan Indonesia, yang menjadi butir penentu, bagi bersatunya negeri ini. Tak hayal, bila saat ini kita banyak melihat, adanya sekolompok ras yang mengunggulkan rasnya dan mencela ras orang lain, ada yang mengunggulkan gen/nasab/marga dibanding marga orang lain. Sehingga, konflik ras, suku dan merasa paling berhak, kerap mewarnai layar kaca kita saat ini.

Solusi dari jawaban hipotesa di atas, di antaranya, kembali menyadarkan seluruh penghuni ibu pertiwi, melalui pendidikan, baik jalur formal maupun informal. Sebab dengan memperbanyak kajian-kajian kebangsaan, baik di sekolah swasta, maupun sekolah negeri. di tingkat level bawah sampai kepada perguruan tinggi. Diharapkan mampu kembali merajut kepingan butir pancasila dan  memahami tafsirannya dengan baik.

Seterusnya, menjadikan pancasila sebagai nurani hidup berbangsa dan meyakininya sebagai ideologi bernegara. Karena, apabila kita mau bijaksana menafsirkan pancasila bukan dari kulitnya, maka besar kemungkinan negara ini akan terhindar dari bahaya yang menggerogotinya, seperti korupsi, kekerasan, tuna-adab. Namun sebaliknya, jika tidak meyakini ideologi pancasila sebagai dasar negara, apalagi merasa paling berhak di negeri ini, tidak tertutup kemungkinan akan memicu peluang konflik di negeri ini.

Memahami pancaslia sampai ke akar-akar adalah solusi tepat memproteksi arus globalisasi, kembali menghidupkan kecintaan terhadap budaya masing-masing dan menghargai kultur orang lain. Dengan begitu, besar kemungkinan menutup keinginan untuk memakai adat dan budaya yang bukan terlahir dari perut ibu pertiwi. Karena, banyak budaya asing yang tidak searah dan sepandangan dengan ideologi pancasila. Bahkan, dikhawatirkan akan meruntuhkannya.

Sebagai penutup, tidak salah bila kita kutip tausyiah Bung Karno yang berbunyi “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri” Pancasila adalah produk sejarah dari berdirinya negeri ini, melupakan dan tidak mngamalkan kandungan pancasila adalah bagian dari mengecilkan bangsa ini. S.S.Ray. 10082017.A

Editor : Hanapi Lubis

Komentar Anda

komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll To Top
Request Lagu
Loading...