Panyabungan, StartNews – Bebicara kelapa di Mandailing Natal (Madina), tidak bisa lepas dari arambir banggua (kelapa dari daerah Banggua). Pasalnya, kelapa dari Desa Batang Gadis, Kecamatan Panyabungan Barat, ini sudah terkenal sejak zaman dulu. Arambir banggua berukuran di atas rata-rata dan kualitas minyaknya bagus. Setiap pekan puluhan ton kelapa keluar dari desa ini dan memadati pasar-pasar di Madina, bahkan sampai ke Pulau Jawa.
Potensi santan yang banyak menjadi daya tarik tersendiri. Perasan keempat arambir banggua masih mengeluarkan santan yang bagus. Padahal, umumnya kelapa dari daerah lain hanya satu sampai dua perasan. Tak hanya itu, arambir banggua juga lebih tahan terhadap jamur.
Desa Batang Gadis dikelilingi ribuan pohon kelapa. Di tengah perkampungan berdiri kokoh gapura “arambir banggua”. Gapura ini sebagai bukti kelapa telah menjadi ikon Desa Batang Gadis.
Abdul Karim, warga Desa Batang Gadis yang dijumpai di salah satu warung kopi di desa itu menuturkan, dia telah memasarkan arambir banggua sejak awal tahun 1960-an. Saat itu, dia mengangkut kelapa dari desanya ke pasar Panyabungan masih menggunakan pedati. Pembeli di pasar langsung memburu kelapanya begitu tahu dia datang dari Desa Batang Gadis. “Tahun 64 saya sudah memasarkan kelapa dari sini,” katanya.
Cara penanaman arambir banggua sama dengan kelapa lainnya. Masuk masa berbuah sekitar tujuh tahun sejak ditanam. Cuma, sejak dulu bibit yang ditanam merupakan bibit pilihan dari pokok kelapa yang ada. Petani memilih kelapa ukuran besar untuk dibibitkan. Metode itu bertahan sampai sekarang.
Karim menceritakan nama arambir banggua diambil dari lokasi persawahan masa dulu, namanya Saba Banggua. Di Mandailing, lokasi persawahan memang punya nama tersendir, misalnya Saba Losung, Saba Biara, Saba Roba, Saba Suluk, Saba Julu, dan Saba Jae.
Dulu, Saba Banggua adalah hamparan sawah sampai suatu ketika tak bisa lagi dimanfaatkan untuk menanam padi karena ketiadaan air. Masyarakat pun mulai menanam kelapa. Ternyata, kelapa yang tumbuh lebih subur dan lebih bagus dari kelapa di sekitarnya.
Sejak saat itu petani di sana menjadikan kebun kelapa sebagai salah satu investasi. Namun, saat ini sedang memasuki masa manyala, sehingga produksi kelapa menurun signifikan. Produksi yang terbatas berbanding terbalik dengan permintaan pasar. Tak ayal harga pun melambung. Satu biji kelapa diharga Rp3.700 sampai Rp4.500. “Dari 500 biji sekarang hanya dapat 200 biji,” sebut Fahmi.
Masa manyala semacam waktu rehat produksi pokok. Berlangsung dalam kurun waktu yang tidak begitu lama. Menyiasati hal itu, masyarakat memanfaatkan lahan di bawah pokok kelapa untuk menanam tanaman muda.
Fahmi, pembibit kelapa di Desa Batang Gadis, mengatakan biasanya satu bibit dijual Rp15 ribu sampai Rp20 ribu. Fluktuasi harga tergantung lama pembibitan. “Tapi, kalau ada yang minta bisa kami bibitkan,” ujarnya.
Berdasarkan pengakuan Fahmi, setiap Senin dan Kamis setidaknya dua truk Colt Disel datang mengangkut kelapa. Di lain itu masih ada beberapa mobil pickup jenis L300 yang datang. Meski demikian, infrastruktur jalan menuju desa ini masih jauh dari kata layak. Pengaspalan terakhir terjadi pada masa pemerintahan almarhum Amru Daulay. Saat itu pun lebih layak disebut pengerasan dibandingkan pengaspalan, karena hanya menyiramkan aspal ke jalan yang telah ditutupi kerikil. Istilah orang di desa itu, aspal kacang. Padahal, jalan yang melintasi Desa Batang Gadis dan Desa Batang Gadis Jae tak lebih dari 5 kilometer.
Reporter: Roy Adam