RAMADHAN BULAN EKONOMI ISLAM
Opini & Artikel – Tak dapat disangkal, roda ekonomi benar-benar tampak hidup selama bulan suci ini. Karena itu, tidaklah berlebihan jika sebagian umat manusia mengharapkan seluruh bulan (sepanjang tahun) menjadi Ramadhan, meski hal ini tidaklah mungkin. Keinginan ini sebagai implikasi positif atas tingkat pendapatan yang menaik tajam dan hal ini berbeda bila diperbandingkan bulan-bulan lainnya.
Ramadhan adalah bulan ekonomi Islam. Pertama, Ramadhan adalah bulan di mana manusia bisa jernih berfikir dan bertindak sehingga dakwah-dakwah tentang manusia yang bersahaja dalam bingkai ekonomi Islam sangat dekat dengan perilaku manusia-manusia Ramadhan. Kedua, Ramadhan menjadi bulan di mana manusia bersemangat menjalankan perintah-perintah Tuhan tanpa banyak bertanya alasan di baliknya. Ketiga, pada Ramadhan manusia tidak atau mungkin kurang mengedepankan hitungan-hitungan cost-benefit material. Pada bulan ini manusia mengedepankan hitungan cost-benefit spiritual, sebagai kompensasi dari kerakusan pada bulan di luar Ramadhan atau memang sebuah kesadaran yang tulus. Kita perhatikan, perilaku sedekah, infak dan zakat meningkat cukup dramatis di bulan ini.
Di sinilah, bulan Ramadhan menjadi momentum lahirnya semangat dan kesadaran umat Islam untuk melakukan aktivitas ekonomi sesuai ajaran agamanya: menanggalkan riba (bunga), menjauhi gharar, maysir, tadlis, ihtikar dan lain sebagainya. Sebab, implikasi puasa tidak saja berdimensi ibadah spiritual an-sich, tetapi juga mengajarkan akhlak horizontal (mu’amalah), khususnya dalam bidang bisnis. Sungguh aneh apabila ada orang berpuasa dengan khusyuk, tetapi melanggar ajaran-ajaran Allah dalam mu’amalah, seperti masih mempraktekkan riba yang diharamkan atau melakukan penipuan harga yang tidak pantas.
Implementasi aktivitas ekonomi Islam ini diharapkan dapat memperkuat sendi perekonomian umat yang puncaknya akan melahirkan social distributive justice (keadilan distribusi sosial). Harta tidak hanya berputar pada segelintir orang dengan mengoptimalkan konsep zakat, infak, shadaqah dan wakaf
Ramadhan selalu lebih identik dengan masalah ekonomi ketimbang ibadahnya. Asumsi ini berdasar pada realitas di masyarakat muslim di negeri ini yang mayoritas masih awam dalam pelaksanaan ibadah shaum di bulan Ramadhan, hal ini dapat kita lihat setiap kali waktu hendak berbuka shaum tiba dan juga menjelang Idul Fitri. Motif ekonomi kentara lebih menonjol daripada aneka ibadah sunnah Ramadhan lainnya dibanding peningkatan kualitas ibadah.
Optimisme akan perbaikan yang telah terbangun sebaiknya semakin dijaga dan ditingkatkan. Sekaligus dijadikan ‘bahan bakar’ untuk ‘meledakkannya’ di bulan Ramadhan ini, dalam arti mampu diaplikasikan secara penuh untuk kemaslahatan umat. Bukankah Allah menyebut dan memuji umat Islam di dalam Al-Quran sebagai umat terbaik yang mempunyai potensi luar biasa?
Ummat Islam sejatinya memiliki potensi ekonomi yang sangat besar, hanya saja potensi itu belum menjadi kekuatan untuk membangun kesejahteraan. Jumlah umat Islam yang mencapai 200 juta jiwa merupakan potensi ekonomi, namun sekaligus menjadi ancaman jika tidak dikelola dengan baik. Setiap Ramadhan dan Lebaran datang, masyarakat muslim menjadi konsumtif. Padahal salah satu ajaran Ramadhan adalah menahan diri dari haus dan lapar. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kebutuhan konsumsi umat Islam meningkat. Padahal yang lebih banyak menikmati keuntungan adalah masyarakat non-muslim.
Oleh karena itu, menjadi tugas bersama untuk memahamkan umat akan potensi ekonomi yang dimilikinya dan pada Ramadhan ini adalah momentum yang tepat untuk menerapkan ekonomi Islam sebagai konsep ekonomi gotong-royongnya umat Islam.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan keberkahan, dimana di dalamnya terkandung sejumlah keutamaan. Adalah hal yang wajar jika umat Islam begitu menunggu kedatangan bulan ini. Bahkan Rasulullah SAW telah memberikan gambaran bahwa jika saja manusia mengetahui tentang faedah dan hikmah di balik Ramadhan, niscaya manusia akan menginginkan Ramadhan sepanjang tahun.
Fenomena naiknya belanja masyarakat ini, selama tidak bersifat isyraf dan tabdzir atau berlebih-lebihan, merupakan sesuatu yang masih bisa diterima secara wajar. Karena itu, untuk mengantisipasi kenaikan permintaan terhadap uang, maka Bank Indonesia pun telah menyiapkan tambahan money supply sebesar Rp 89,4 triliun khusus momentum bulan suci hingga datangnya Idul Fitri 1440 H.
Meskipun puasa Ramadhan merupakan bagian dari ibadah mahdlah, namun pada prakteknya, puasa ini telah memberikan dua dampak secara ekonomi. Dampak Pertama, bulan Ramadhan biasanya akan menstimulus kenaikan tingkat konsumsi dan belanja masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan tingkat belanja masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pada saat berbuka puasa, saat sahur, penyiapan jamuan hari raya, belanja baju baru dan lain sebagainya. Satu hal yang perlu dicermati adalah faktor tekanan terhadap inflasi akibat kenaikan permintaan terhadap barang dan jasa, terutama barang kebutuhan pokok. Sebagaimana yang lazim terjadi selama ini, pada bulan Ramadhan biasanya harga-harga cenderung bergerak naik. Sebagian mengatakan bahwa kenaikan harga ini merupakan hal yang wajar sebagai dampak dari kenaikan permintaan. Ini adalah hukum bisnis alami dan disebabkan oleh tindakan para spekulan, yang berupaya untuk mendapat keuntungan berlipat dari kenaikan harga. Seharusnya, fenomena kenaikan permintaan ini bisa diantisipasi oleh para pebisnis melalui peningkatan produksi. Apalagi ini adalah fenomena tahunan yang selalu terjadi.
Pemerintah untuk menindak secara tegas para spekulan yang telah mempermainkan harga sehingga merugikan masyarakat. Tindakan para spekulan seperti ini dalam perspektif Islam termasuk ke dalam kategori ihtikar (penimbunan). Rasulullah SAW bersabda, “barangsiapa menimbun barang (melakukan ihtikar) maka ia berdosa” (HR Muslim). Hadits ini memberikan sinyal tentang keharaman melakukan praktek ihtikar. Meski demikian, tentu harus dibedakan antara penimbunan dengan inventory atau persediaan. Penulis melihat salah satu peran pemerintah daerah dalam mengatasi kenaikan berbagai harga dengan menggalakkan program sembako murah dalam bulan ramadhan ini.
Orientasi “persediaan” adalah sebagai cadangan stok barang pada kondisi usaha yang normal. Juga untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya excess demand (kelebihan permintaan), sehingga harga bisa stabil ketika ada tambahan suplai. Atau sebagai tindakan untuk mencegah jatuhnya harga akibat excess supply (kelebihan penawaran), terutama pada saat terjadi panen raya. Berbeda dengan penimbunan yang berorientasi pada maksimisasi profit dengan mengeksploitasi keterdesakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam Islam, konsep inventory ini telah dipraktekkan oleh Nabi Yusuf AS, ketika beliau memimpin Mesir dalam menghadapi krisis pangan dan krisis ekonomi selama tujuh tahun.
Ke depan, seharusnya momentum Ramadhan ini bisa dimanfaatkan oleh para pengusaha muslim untuk meningkatkan volume bisnisnya. Dana Rp 89,4 triliun harusnya bisa masuk ke kantong pengusaha muslim sepenuhnya. Penulis yakin, jika para pengusaha muslim ini bisa memanfaatkan momentum yang ada, maka peluang terjadinya ihtikar bisa diminimalisir karena misi bisnis pengusaha muslim bukan sekedar mencari profit semata, melainkan juga membawa misi dakwah dan sosial.
Dampak kedua
Adapun dampak kedua dari kegiatan di bulan Ramadhan ini adalah peningkatan people to people transfer, yaitu transfer dana dari kelompok mampu kepada kelompok tidak mampu dalam bentuk zakat, infak dan sedekah (ZIS). Volume pembayaran ZIS ini biasanya mencapai puncaknya pada bulan Ramadhan. Orang berlomba-lomba untuk mendonasikan dananya untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Tidaklah mengherankan jika hal ini berdampak terhadap penghimpunan ZIS secara nasional, dimana proporsi rata-rata penghimpunan ZIS di bulan ini mencapai angka 50 sampai 60 persen dari total keseluruhan dana yang terhimpun dalam satu tahun. Bahkan di beberapa lembaga zakat, proporsi ini bisa mencapai angka 90 persen.
Selain itu, efek dari people to people transfer ini juga akan mendorong adanya aliran dana dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi ke daerah-daerah yang secara ekonomi masih tertinggal. Aliran dana ini dapat menstimulasi roda perekonomian daerah-daerah tertinggal tersebut, meskipun sifatnya hanya jangka pendek (short term).
Bulan Ramadhan juga menjadi moment yang paling strategis bagi umat Islam untuk memperbaiki juga sebagai bahan introspeksi diri setelah melihat berbagai kekurangan-kekurangan yang telah dialami di masa lalu. Selama ini kerap timbul kesan bagi sebagian umat Islam bahwa bulan Ramadhan adalah bulan istirahat dan bulan berleha-leha menunggu kumandang adzan Maghrib.
Pemahaman seperti ini timbul dari salah baca terhadap makna Ramadhan yang sebenarnya. Secara etimologi, Ramadhan berasal dari akar kata “ramadl” yang berarti “membakar”. Artinya, Ramadhan adalah momentum umat Islam untuk membakar dosa lebih intensif dibandingkan bulan lain, sehingga usaha dan semangat beribadah pun mesti lebih masif dilakukan. Konon, para sahabat mempersiapkan penyambutan Ramadhan selama enam bulan. Enam bulan setelahnya, mereka khusyuk meminta kepada Allah SWT agar ibadah shaum-nya diterima.
Ramadhan adalah bulan suci yang penuh makna, sarat nilai, multi-hikmah dan bermega-pahala. Selain menyehatkan raga dan menenangkan jiwa, berpuasa juga mengajarkan hidup toleran, sederhana, dan bahkan produktif. Tidak hanya itu, Ramadhan turut meletakkan landasan pembangunan ekonomi umat.
Setiap kali Ramadhan datang, kita selalu menaruh harapan besar pada bulan suci itu. Harapan untuk kehidupan yang lebih baik sesuai dengan nilai-nilai qur’ani. Tidaklah mengherankan jika tema-tema dakwah Ramadhan selalu mengarah kepada perubahan. Seolah-olah Ramadhan akan merubah segalanya. Kehidupan Politik yang nir etika berubah menjadi kehidupan politik yang berbingkai moral dan berpayung kesantunan. Akhlak yang kerap kali absen dalam kehidupan sosial budaya berubah menjadi kehidupan yang berkeadaban. Demikian pula kehidupan ekonomi kita yang sangat kapitalistik dan abai terhadap dhuafa dan mustadh’afin, berubah menjadi kehidupan ekonomi yang menjunjung nilai-nilai syariah. Yang sangat menarik, karunia di tengah Ramadhan tidak hanya hal-hal yang berdimensi ukhrawi, tapi aspek keduniaan pun cukup terbuka lebar terutama dimensi ekonomi. Fakta menunjukkan, para pelaku ekonomi meraih pendapatan besar atas kehadiran bulan suci Ramadhan. Tak sedikit di antara umat manusia yang berpuasa ataupun tidak, dari barisan Muslim ataupun umat lainnya merasakan manfaat besar dari kehadiran Ramadhan yang tersirkulasi atau terdistribusi secara menyeluruh, mulai dari wilayah perkotaan hingga pedesaan.
.
Dalam konteks historis, bulan Ramadhan merupakan momentum penting dan monumental dalam kebangkitan dan kejayaan Islam. Telah banyak perubahan besar dalam sejarah dakwah Islam yang terjadi pada bulan ini. Ramadhan juga telah mengantarkan Islam tersebar ke semenanjung Afrika dan Eropa. Sementara dalam konteks ibadah, Ramadhan adalah bulan semangat dan motivasi untuk memperbaiki diri dengan sederet ketaatan. Saatnya generasi berikutnya mengukir kembali kemenangan-kemenangan itu, merebut kembali peradaban Islam yang terampas. Maka, meraih peradaban mesti dilakukan dengan memperkuat aspek ekonomi itu. Kebangkitan Islam hanya akan terejawantah dalam wujudnya yang ideal ketika ekonomi Islam dapat membumi dan menjadi landasan aktivitas perekonomian umatnya.
Pesan implisit Ramadhan patut dijadikan masukan dalam membangun perekonomian umat dan bangsa ke depan. Pembangunan harus dimulai dengan membangun nilai nilai ekonomi Islam dalam kehidupan. Pemberdayaan sumber daya rakyat berdasarkan nilai-nilai Qurani harus diprioritaskan.
Gagasan negara sejahtera dapat terwujud, apabila pembangunan fisik dan spiritual (ketaqwaan) harus berjalan seimbang. Inilah model pembangunan ekonomi yang ideal. Selain faktor-faktor produksi, tingkat ketaqwaan juga merupakan “driving force” pembangunan ekonomi umat. Negara yang dihuni warga muttaqin pasti akan mendatangkan rahmat Ilahi sehingga terwujudlah negara sejahtera.
Dengan demikian, seorang yang benar-benar berpuasa, akan berusaha meninggalkan segala yang diharamkan, seperti judi, korupsi, menerima suap, berbohong, menggunjing/ghibah, mubazzir dan termasuk memakan dan mempraktekkan riba (bunga). Puasa bukan saja membina dan mendidik kita agar semakin taat beribadah,tetapi juga agar semakin bagus akhlak kita, termasuk akhlak dalam muamalah. Akhlak dalam muamalah mengajarkan agar kita dalam kegiatan bisnis menghindari judi, gharar (penipuan) dan riba serta perilaku tercela lainnya seperti dusta dan manipulasi.
Implikasi puasa tidak saja berdimensi ibadah spiritual, tetapi juga mengajarkan akhlak horizontal (muamalah), khususnya dalam bidang bisnis. Sangat aneh, bila ada orang yang berpuasa dengan penuh ketaatan, tetapi melanggar ajaran-ajaran Allah tentang muamalah, seperti masih mempraktekkan riba (bunga) yang diharamkan.
Di zaman modern ini, seluruh ulama, pakar ekonomi Islam di dunia, dan lembaga-lembaga fatwa dunia telah sepakat (ijma) menyatakan bahwa sistem bunga yang banyak dipraktekkan saat ini termasuk kepada riba. Sedikitpun hal itu tidak diragukan. Setelah seluruh pakar ekonomi dunia menyaksikan dampak buruk dari bunga yang menzalimi ekonomi negara-negara berkembang serta setelah suksesnya bank-bank syari’ah Internasional yang menerapkan sistem mudharabah, musyarakah dan sistem lainnya, maka seluruh ulama dunia sependapat tentang keharaman bunga bank.
Saat ini, di tengah ummat Islam telah banyak berdiri bank-bank syari’ah yang berlandaska syari’ah Islam .Maka menjadi kewajiban bagi ummat Islam untuk mengamalkan ajaran syari’ah Islam itu dan meninggalkan riba yang di haramkan.Orang yang berpuasa secara benar, pasti terpanggil untuk hijrah dari sisten ekonomi kapitalis yang ribawi kepada sistem perbankan syari’ah yang didasarkan pada prinsip syari’ah Islam, yang bebas bunga. Momentum ramadhan harus di manfaatkan kaum muslimin untuk meninggalkan perilaku yang diharamkan Allah menuju sistem yang syari’ah yang di ciptakannya. Kita jangan lagi meniru perilaku kaum Yahudi yang sering dikecam Al-Quran. Mereka mengamalkan ajaran agamanya separoh-separoh, tidak utuh (QS.2:85). Jadi, bila kita beribadah secara Islam, sedangkan bermuamalah secara kapitalis, bukan secara syari’ah Islam, berarti kita meniru perilaku Yahudi.Tulisan ini ingin mengajak ummat Islam untuk menjadikan ramadhan sebagai momentum hijrahnya ummat Islam dari sistem riba kapitalis kepada sistem syari’ah melalui lembaga keuangan Islam.Sebagai orang beriman yang telah melaksanakan puasa, kita tentu meyakini dengan sesungguhnya, bahwa Islam itu adalah agama komprehensif yang mengatur seluruh asfek kehidupan manusia, termasuk ekonomi. Kita harus masuk ke dalam Islam secara utuh dan menyeluruh, tidak sepotong-sepotong. Inilah yang dititahkan Allah secara eksplisit (tegas) dalam al-Qur’an surah al-Baqarah 208:
“Hai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (utuh dan totalitas), dan jangan kamu ikuti langkah-langkah syetan.Sesungguhnya syetan itu musuh nyata bagimu”.
Ayat ini mewajibkan orang beriman untuk masuk ke dalam Islam secara totalitas bukan separoh-separoh (parsial), baik dalam ibadah maupun ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya.Tapi sangat disayangkan, pada zaman ini, banyak kaum muslimin yang Islamnya tidak kaffah.Betul, ketika sholat, haji, puasa, acara kematian dan perkawinan, kita Islam, tetapi kita masuk pada persoalan ekonomi, kita masih banyak yang melanggar prinsip Islami.Kita mengabaikan ajaran ekonomi Islam, kita menjadi kapitalis yang selalu bergumul dengan sistem ekonomi ribawi.
Islam menyediakan seperangkat sistem dan aturan ekonomi syari’ah yang harus diamalkan orang beriman.Sistem ekonomi Islam yang berlandaskan syari’ah tersebut, pada masa kini telah muncul, setelah sekian lama terbenam dalam limbo sejarah.
Ekonomi Islam didasarkan kepada pinsip-prinsip syari’ah yang digali dari al-Qur’an dan sunnah. Di dalam kitab-kitab fiqh pun, sangat banyak ditemukan ajaran-ajaran mu’amalah (ekonomi Islam). Kajian-kajian ekonomi tersebut terdapat dalam ribuan buku.Pendeknya, kajian-kajian mu’amalah Islam sangat berlimpah. Antara lain, mudharabah, murabahah, wadi’ah, jual-beli saham, ba’iybi tsamail ajil, qardh al-ahsan, takaful, ji’alah, al-rahn, hiwalah, dan banyak lagi sistem ekonomi Islam yang termuat dalam kitab-kitab fiqh.
Memang, tidak dapat disangkal, bahwa sekarang ini, ummat Islam masih banyak yang masih berhubungan dengan lembaga keuangan konvensional, sehingga setiap nafas dan denyut jantung kehidupan finansial kita, terlilit sistem ekonomi bernuansa ribawi. Sebagai seorang mukmin, apakah kita secara pasrah membiarkan diri kita terbelenggu dalam jeratan ekonomi ribawi. Apakah kebolehan kita berhubungan dengan bank konvensional setiap saat dengan alasan darurat, sedangkan alasan darurat saat ini telah hilang?.Tidakkah kita melihat kemajuan perbankan Islam di Barat dan di timur serta pesatnya kajian islam di universitas univeristas yang ada di Barat seperti Harvard dan bagaimana ummat Islam dan non muslim telah membangun lembaga ekonomi syari’ah dan mempraktekkannya secara riel di lapangan adalam dua puluh tahun terakhir..
Sebagai orang beriman, berekonomi dengan sistem syari’ah adalah suatu keharusan, apalagi orang yang benar-benar melaksanakan ibadah puasa. Alangkah anehnya, bila kita berpuasa secara sungguh-sungguh, tapi keislaman kita pincang. Puasa kita amalkan secara Islami, tapi dalam masalah ekonomi kita amalkan sistem riba yang diimport dari sistem kapitalis. Maka melalui puasa yang kita laksanakan ini, menjadi keharusan bagi kita untuk secara bertahap mengamalkan sistem ekonomi syari’ah. Yang lebih mudah lagi adalah menabung di lembaga keuangan syari’ah Islam. yang sistemnya berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian barulah tujuan puasa membentuk manusia taqwa dapat terwujud. Orang yang bertaqwa tidak mau memakan riba yang diharamkan Allah SWT.
Keharusan berekonomi secara syari’ah ini, lantaran penerapannya mempunyai manfaat yang besar bagi ummat Islam. Pertama, agar ummat Islam bisa menjalankan agamanya dalam bidang ekonomi yang pada gilirannya menggiringnya kepada pengamalan Islam secara kaffah, sehingga tidak muncul dikhotomi syari’ah, yakni beribadah secara Islam, bermuamalah secara kapitalis. Kedua, menerapkan dan mengamalkan sistem ekonomi syari’ah mendapat dua keuntungan , yaitu duniawi dan ukhrawi. Keuntungan duniawi berupa bagi hasil, kentungan akhirat berupapahala ibadah melalui pengamalan syari’ah Islam dan terhindar dari dosa riba. Menerapkan dan mengamalkan ekonomi syari’ah berarti melepaskan diri dari mainstream riba yang diharamkan dan terbebas dari segala unsur syubhat. Ketiga, memajukan ekonomi Islam lewat, lembaga keuangan syari’ah, berarti umat Islam berupaya mengentaskan kemiskinan ummat dan meningkatkan kualitas ekonomi kerakyatan. Khusus bagi nasabah yang memiliki modal (aghniak), menanam saham atau menbaung di lembaga keuangan Islam, tidaklah mendiamkan apalagi menghabiskan uang tersebut, tapi uang dapat berkembang secara ekonomis, sebagaimana dalam sistem ekonomi biasa. Keempat, menabung uang di lembaga keuangan Islam akan mendapat barakah, sesuai sabda Nabi Saw, “Tiga macam m,endapat berkah, 1. Mudharabah, 2. Jual beli secara cicil, 3. Mencampur gandum basah dan kering untuk dimakan sendiri, bukan untuk dijual. Tabungan mudhrabah hanya ada di bank syari’ah. Sedangkan tabungan dam deposito yang biasa masih memakai sistem bunga. Bunga dan bagi hasil memiliki tujuh perbedaan yang tajam. Maka hanya orang bodohlah yang menyamakan sistem bunga dan bagi hasil. Kelima, mendukung lembaga keuangan Islam berarti kita ikut melancarkan gerakan amar-ma’ruf nahi munkar, sebab dana masyarakat yang terkumpul tak pernah digunakan untuk pembiayaan yang syubhat apalagi yang haram. Bank syari’ah tak akan membiayai hotel yang bernaunsa maksiat seperti yang banyak berkembang saat ini, juga tak akan membiayai sarana hiburan dan wisata yang cendrung ke arah munkar, tak akan membiayai pabrik rokok, perjudian, peternakan babi, dsb. Keenam, Menabung dan mendepositokan uang di lembaga keuangan Islam berarti kita membantu pemulihan ekonomi nasional. Sebab bank-bank syari’ah menggunakan dana tersebut untuk pembaiayaan usaha dan kebutuhan masyarakat. Hal ini terlihat dari LDR bank syari’ah yang cukup tinggi, malah melebihi 100 %. Hal ini berbeda dengan bank biasa yang lebih banyak memasukkan uang masyarakat dalam kegiatan ribawi melalui SBI. Lihatlah buruknya fungsi intermediasi perbankan saat ini, Dalam masa lebih empat tahun LDRnya rata-rata sangat rendah 30-40 %. Bahkan yang cukup menyedihkan bank swasta raksasa malah LDRnya hanya 15 %. Ramadhan inilah kejernihan berfikir dan bertindak tentang kehidupan manusia yang bersahaja dalam bingkai ekonomi Islam dapat dicapai, sebab sifat qanaah sejatinya sangat dekat dengan perilaku manusia-manusia Ramadhan. Oleh karena itu, Pertama, perbanyak muhasabah diri. Kedua, perbanyak berbuat kebajikan, sebab hanya di bulan Ramadhan-lah banyak manusia bersemangat menjalankan perintah Allah tanpa banyak bertanya alasan di baliknya. Ketiga, perbanyak berbagi dan bersihkan harta, sebab hanya di bulan Ramadhan-lah manusia tidak terlalu mengedepankan hitungan cost-benefit material melainkan cost-benefit spiritual sebagai kompensasi dari kerakusan yang dilakukan di luar Ramadhan atau memang lahir dari sebuah kesadaran yang tulus. Maka sedekah, infaq, dan zakat (baik maal maupun fitrah) menjadi amalan prioritas di bulan ini. Pada akhirnya, model pembangunan ekonomi yang ideal ternyata selain dipengaruhi faktor-faktor produksi, tingkat ketaqwaan juga menjadi “driving force” pembangunan ekonomi umat.
Penulis
Sunarji Harahap, M.M.
Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Islam (FEBI) Universitas Islam Negeri Sumatera Utara dan Pengamat Ekonomi