menu Home chevron_right
Berita MadinaBerita SumutStart News

Refleksi HUT-RI Ke 72, Bagas Godang di Huta Godang, Simbol Heroik Perlawanan Terhadap Belanda

Ade | 14 Agustus 2017

Ulu Pungkut.StArtNews- Bagi para pendegar yang pernah berkunjung ke Desa Huta Godang Kec. Ulu Pungkut Kab. Mandailing Natal,  pasti kenal dan pernah melihat Bagas Godang  Huta Godang.

Bagas Godang ini termasuk salah satu kebanggaan warga Huta Godang sekitarnya. Disamping posisinya pas di pinggir jalan, ciri khas Bagas Godang ini di depannya terdapat kolam yang luas dan di apit dua Sopo Godang.

Dilihat dari bangunannya, Bagas Godang ini tidak beda dengan bagunan Bagas Godang lainnya yang mencerminkan adat dan arsitektur Mandailing. Namun siapa sangka di dalam Bagas Godang ini masih tersimpan sejumlah alat perang mulai dari tombak yang tergantung rambut orang Belanda berwarna putih, pedang, senapan dan alat perang lainnya yang menunjukkan heroiknya perjuangan raja dan rakyatnya mengusir penjajah Belanda dari Bumi Pertiwi.

Menurut wawancara StArtNews, Minggu (13/7)  dengan salah seorang tokoh masyarakat Huta Godang, Iswar Matondang mengatakan, raja-raja Huta Godang terkenal dengan perjuangannya melawan penjajah Belanda, sampai di antara mereka ada yang ditangkap bahkan meninggal di tangan Belanda.

Salah satu keturunan Raja ini, yaitu Raja Junjungan Lubis yang sempat diangkat menjadi Gubernur Sumatera Utara. Raja Junjungan ini pun adalah pejuang kemerdekaan di masanya. Setelah pembacaan teks Proklamasi di Jakarta, tidak berselang lama Raja Junjungan sudah mendapatkan teks Proklamasi dari Bukit Tinggi. Hari itu juga, beliau membacakan Teks Proklamasi di depan Bagas Godang ini sambil menaikkan bendera Merah Putih, sedangkan di daerah lain belum ada sama sekali.

Usai pembacaan teks Proklamasi di Bagas Godang Huta Godang  ini, besok harinya Raja Junjungan Lubis diarak ke desa Hutapadang Ulu Pungkut. Di tempat ini, Raja Junjungan Lubis bersama para pejuang kemerdekaan mananam pohon Beringin sebagai lambang peringatan kemerdekaan.

Selanjutnya,  esok harinya dibacakan teks Proklamasi di Pasar Kotanopan. Setelah itu,  Raja Junjungan berangkat ke Padang Sidempuan menjumpai Lumban Tobing untuk memberitahukan kemerdekaan RI dan selanjutnya terus berangkat ke Tarutung.  Warga di daerah Tarutung saat itu belum percaya Indonesia telah merdeka. Hal ini bisa saja dimaklumi, karena saat itu masih terbatas informasi, bukan seperti sekarang ini ada internet dan lainnya,” katanya.

Dikatakannya, Raja Huta Godang pertama bernama Raja Namora Junjungan Lubis hidup sekitar tahun 600 an. Beliau membawahi beberapa daerah, mulai dari Huta Godang, Alahankae, Simpang Duhu, Abincaran, Hutapadang dan desa-desa sekitar lainnya. Sedangkan raja yang paling terkenal perjuangannya melawan Belanda adalah Regen Raja Gadombang dan Sutan Mangkutur.

Diceritakannya, di masanya Raja Gadombang memimpin perlawanan terhadap Belanda mulai dari daerah Rao (Sumbar) sampai ke Sipirok (Tapanuli Selatan). Selain melawan penjajah Belanda, Regen Raja Gadombang juga membawa misi menyebarkan agama Islam. Namun ada kelemahan saat itu, banyak  yang meninggal saat melawan Belanda memunculkan penyakit kolera. Hal ini tentunya berdampak kepada penduduk lainnya.

Regen Raja Gadombang sendiri meninggal di tembak Belanda di Sipisang lewat Bonjol Sumatera Barat, kemudian di kuburkan di Huta Godang tidak jauh dari Bagas Godang. Belanda sendiri mengakui perlawanan dan kegigihan Regen Raja Gadombang di Medan Perang. Belanda sempat memberikan gelar Regen Van Mandheling kepadanya.

Selain itu,   di batu nisannya ada tulisan Bahasa Belanda yang artinya, “Di bawah ini disemayamkan Regen Van Mandheling. Dia Selalu menyarankan kepada rakyatnya, angkat senjatamu, supaya negerimu, bebas merdeka”.

Setelah Raja Gadombang meninggal, maka digantikan adiknya Sutan Mangkutur. Perjuangan Sutan Mangkutur melawan Belanda juga cukup heroik yang pada akhirnya menyebabkan Sutan Mangkutur di tangkap Belanda dan di buang ke Ambon bersama tiga saudara lainnya. Dipengasingan inilah Sutan Mangkutur meninggal dunia dan kuburannya sampai sekarang tidak diketahui.

Raja lainnya yang terkenal kebijakannya adalah raja Junjungan Lubis, memerintah sekitar tahun 1800 an (Opung Raja Junjungan Lubis mantan Gubsu). Di zaman raja ini, penanaman kopi Robusta dan Arabica digalakkan di Huta Godang dan sekitarnya. Kebijakan ini membawa kemajuan ekonomi yang luar biasa bagi rakyatnya. Bayangkan saja, di Huta Godang ini saja ada gudang kopi, dan kalau musim panen jumlahnya paling sedikit 20 ton dikirim ke Padang setiap minggunya. Ceritanya, masa ini pedagang dari luar daerah sudah banyak yang datang kemari menaiki mobil, sedangkan kondisi jalan saat itu sudah mulus walaupun terbuat dari tanah.

Bukan itu saja, sekitar tahun 1800, jalan dari Kotanopan – Huta Godang sudah tembus sampai ke Rao dan Air Bangis  (Sumbar). Buktinya, kantor Camat sekarang (Eks SD zaman Belanda) kayunya berasal dari Air Bangis. Namun karena perlawanan Regen Raja Gadombang, jalan Kotanopan-Huta Godang- Air Bangis ini diawasi Belanda dan akhirnya ditutup.

Agar perdagangan ke Bukit Tinggi dan Padang tetap lancar, akhirnya Belanda membuka jalan Kotanopan-Muara Sipongi terus ke Panti dan Rao, itulah jalan yang sekarang. Sampai saat ini jalan Huta Godang-Air Bangis ini tetap ditutup, dan inilah yang dibuka kembali Pemkab Madina dan Provsu.

Terkait dengan pendirian sekolah SD ini didirikan zaman Raja Junjungan Lubis. Karena penghasilan kopi, ekonomi warga sudah maju. Memang yang membangun sekolah ini adalah Belanda, tapi di kontrak raja Junjungan Lubis. Saat itu masih ada aturan rakyat biasa tidak bisa sekolah, tapi karena ekonomi bagus akhirnya warga diperkenankan sekolah oleh Belanda.

Saat itu yang boleh sekolah hanyalah kalangan tertentu, bukan seperti sekarang ini semua anak wajib sekolah. Saat itu kalau tidak anak pejabat, hartawan tidak bisa sekolah. Jadi ukuran sekolah saat itu anak pejabat dan besarnya bayar pajak kepada Pemerintah. Sedangkan murid sekolah masa itu bukan saja dari daerah Hutan Godang, tapi juga dari Pakantan, Muara Sipongi, Hutapungkut.

Kembali ke Bagas Godang, rumah ini pernah terbakar sekitar tahun 1918, kemudian dibagun masyarakat kembali melalui musyawarah dan siap tahun 1922. Melihat banyaknya pejuang dan tokoh yang lahir dari Bagas Godang ini, seharusnya pemerintah memeliharanya sebagai aset. Dari Bagas Godang ini banyak cerita yang dapat di ambil terutama bagaimana heroiknya raja dan rakyatnya melawan penjajah Belanda. Begitu juga peninggalan bersejarah, mulai dari peralatan perang sampai kepada tulisan Belanda dan surat-surat bertuliskan bahasa Mandailing.

Reporter : Lokot Husda Lubis

Editor : Hanapi Lubis

Komentar Anda

komentar

Written by Ade

Comments

This post currently has no comments.

Leave a Reply


Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses


  • Acara Saat Ini
  • Acara Akan Datang



  • play_circle_filled

    Streaming StArt 102.6 FM Panyabungan

play_arrow skip_previous skip_next volume_down
playlist_play

Hak Cipta @Redaksi