Sapardi Djoko Damono, Penyair Legendaris Indonesia

Sapardi Djoko Damono, Penyair Legendaris Indonesia

Tokoh Kita – Bagi masyarakat Indonesia, Sapardi Djoko Damono merupakan sosok yang membanggakan. Meski karya-karyanya telah terkenal dan begitu fenomenal, sosok penyair Tanah Air ini selalu terlihat bersahaja.

Sapardi lahir di Surakarta, 20 Maret 1940. Masa mudanya dihabiskan di Surakarta hingga lulus SMA pada tahun 1958. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Yogyakarta. Tepatnya kuliah di bidang Bahasa Inggris Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Rajin menulis sejak duduk di bangku sekolah, membuat SDD -sapaan akrab sang penyair- telah menulis sejumlah karya yang ia kirimkan ke beberapa majalah. Kebiasaan menulisnya menghantarkannya menjadi direktur pelaksanaan Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison. Sejak tahun 1974, ia juga mengajar di Fakultas Sastra (yang sekarang menjadi Fakultas Budaya) Universitas Indonesia.

Sapardi Djoko Damono tutup usia pada 19 Juli 2020 dalam usia 80 tahun akibat penurunan fungsi organ tubuh. Meskipun kini sosoknya sudah tak ada lagi, tetapi karyanya akan tetap abadi di hati para penikmatnya.

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka, yang dikenal lewat berbagai puisi-puisinya, yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer.

Sapardi merupakan anak sulung dari pasangan Sadyoko dan Sapariah. Sadyoko adalah abdi dalem di Keraton Kasunanan, mengikuti jejak kakeknya. Berdasarkan kalender Jawa, ia lahir di bulan Sapar. Hal itu menyebabkan orang tuanya memberinya nama Sapardi. Menurut kepercayaan orang Jawa, orang yang lahir di bulan Sapar kelak akan menjadi sosok yang pemberani dan teguh dalam keyakinan.

Awal karir menulis Sapardi dimulai dari bangku sekolah. Saat masih di sekolah menengah, karya-karyanya sudah sering dimuat di majalah. Kesukaannya menulis semakin berkembang ketika dia kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM.

Dari kemampuannya di bidang seni, mulai dari menari, bermain gitar, bermain drama, dan sastrawan, tampaknya bidang sastralah yang paling menonjol dimilikinya. Pria yang dijuluki sajak-sajak SDD ini tidak hanya menulis puisi, namun juga cerita pendek. Ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, esai, dan sejumlah artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola. Sapardi juga sedikit menguasai permainan wayang, karena kakeknya selain menjadi abdi dalem juga bekerja sebagai dalang.

Penyair yang tersohor namanya di dalam maupun luar negeri ini juga sempat mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Ia juga pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar serta menjadi redaktur pada majalah Horison, Basis, dan Kalam. Namun kini ia telah pensiun.

Hal lain yang membuat jasanya besar untuk sastra adalah berkat jasanya merintis dan memprakarsai Himpunan Sarjana Kesustraan Indonesia (Hiski), setiap tahun dewasa ini ada penyelenggaraan seminar dan pertemuan para sarjana sastra yang terhimpun di dalam organisasi tersebut.

Menulis sejak duduk dibangku sekolah membuat SDD kaya akan sejumlah karya yang rajin ia kirimkan ke majalah-majalah. Lewat karya-karyanya yang cemerlang, SDD telah banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986. SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima Penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.

Salah satu karyanya paling fenomenal dalam bentuk puisi berjudul aku ingin berikut ini :

Aku ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Sajak-sajak SDD telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja aktif menulis puisi, tetapi juga cerita pendek. Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esay, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola. Beberapa karya SDD di antaranya yaitu Duka-Mu Abadi (1969), Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Enest Hemingway), Perahu Kertas (1983), Afrika yang Resah (1988), Hujan Bulan Juni (1994), Mata Jendela (2002) dan masih banyak lainnya.

Sapardi Djoko Damono mengembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Eka Hospital BSD Tanggerang Selatan pada hari Minggu, 19 Juli 2020. Rupanya, sebelum meninggal dunia, penyair Sapardi Djoko Damono sempat mendapat perawatan intensif di Eka Hospital BSD Tangsel sejak 9 Juli 2020. Selama di rumah sakit, SDD mendapatkan penanganan dari beberapa dokter spesialis.

Meninggal di tengah pandemi Covid-19 membuat keluarga almarhum SDD tidak mengizinkan para pelayat ikut serta dalam proses pemakaman. Hal ini tak lain untuk mematuhi protokol kesehatan yang berlaku.

Meskipun begitu, keluarga masih mengizinkan para pelayat untuk datang ke rumah duka di Komplek Dosen UI Nomor 113, Jalan Ir H Djuanda, Ciputat, Kota Tanggerang Selatan. Penyair kebanggaan Tanah Air ini kemudian dimakamkan di Taman Pemakaman Giritama Bogor, Jawa Barat.

Sumber : fimela.com

Komentar Anda

komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll To Top
Request Lagu
Loading...