Pojok Redaksi-BERAPA lamakah waktu sebuah bangsa untuk dewasa terhadap perbedaan? Pertanyaan itu memang semestinya tidak perlu ditanyakan kepada bangsa kita. Perbedaan ialah kosakata yang kita kenal sejak lahir, bahkan yang telah ikut melahirkan kemerdekaan kita. Kita punya pengalaman panjang bertoleransi, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun bernegara. Namun, nyatanya kedewasaan menerima perbedaan belum juga berurat berakar.
Bahkan, kini masa panjang toleransi itu tengah di ujung tanduk. Menyedihkan karena kerusakan itu ialah buah para politikus yang haus kekuasaan. Mereka memanfaatkan sentimen identitas, yang nyatanya masih bercokol di Tanah Air ini, untuk meraih simpati publik dalam pertarungan politik. Lebih menyedihkan lagi, kini konsep yang dinamakan politik identitas itu tampak akan terus direpetisi.
Setelah digunakan dalam pilkada DKI Jakarta, politik identitas menguat di Jawa Barat. Di Jabar sudah berlangsung gerakan yang bersentimen negatif terhadap partai-partai pendukung Basuki Tjahaja Purnama sebagai parpol pendukung penoda agama. Padahal, majelis hakim yang menyidangkan perkara dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki belum mengetukkan palu vonis.
Bahkan, jaksa penuntut menyatakan dakwaan Basuki menodai agama tidak terbukti dalam persidangan. Jelas sekali isu itu dieksploitasi untuk menjatuhkan kandidat yang telah diusung salah satu parpol pendukung Basuki. Pilkada Jabar masih setahun lagi, tetapi serangan bernuansa agama kepada sang kandidat sudah berseliweran. Kondisi itu ialah gambaran meluasnya virus busuk politik identitas.
Ketika sebuah bagian telah terjangkiti, ia akan terus memangsa bagian lain. Karena itu, seperti virus juga, ketika kerusakan telah begitu meluas, yang terjadi ialah kegagalan dan kekacauan fungsi. Dalam sebuah negara, kegagalan itu bisa saja berarti chaos dan rusaknya tatanan sosial yang selama ini melahirkan stabilitas kita. Namun, tentunya kita juga punya kekuatan untuk mencegah mimpi buruk itu.
Terutama dan terdepan, penangkal virus itu semestinya segera dijalankan Bawaslu. Dalam Undang-Undang Pilkada No 10/2016 tentang Pilkada disebutkan bahwa larangan kampanye meliputi menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon gubernur, calon bupati, calon wali kota, dan/atau partai politik. Begitu pula larangan untuk melakukan kampanye yang menghasut, memfitnah, dan mengadu domba parpol, dan juga perseorangan.
Penindakan terhadap pelanggaran larangan itu menjadi kewenangan Bawaslu. Saat ini kita menanti Bawaslu berani menjalankan peran pada saatnya kelak, yakni di masa kampanye. Bahkan, Bawaslu semestinya kelak aktif dalam menegakkan aturan tersebut karena, jika tidak, ia berdampak besar pada politik dan demokrasi. Jangan seperti dalam pilkada DKI ketika Bawaslu hanya macan kertas yang ompong.
Tidak hanya Bawaslu, peran tersebut juga harus disadari segenap tokoh bangsa. Kita sepatutnya bersama-sama menolak politik identitas. Kekisruhan akibat politik identitas telah terlihat di negara adidaya, Amerika Serikat. Politik identitas bukanlah politik yang menyatukan, melainkan memecah belah karena mengungkit lagi perbedaan hingga ke akar.
Politik itu bahkan menjungkirkan lagi paham yang selama ini menjadi pilar sebuah negara. Di sisi lain, fenomena global ini semestinya juga menjadi pemikiran bagi seluruh tokoh bangsa. Politik atau penguatan identitas sesungguhnya lumrah saja dalam demokrasi. Namun, ekspresi identitas itu selayaknya menghadirkan toleransi, bukan kebencian sana-sini.
Sumber : metrotvnews.com
Editor : Hanapi Lubis