KERINDUAN itu mulai terobati. Kerinduan belajar di ruang kelas. Kerinduan bertemu guru, murid, dan teman sekolah. Begitulah kira-kira perasaan kita saat merespon keputusan pemerintah yang mengizinkan kegiatan pembelajaran tatap muka terbatas (PTMT) untuk sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) ini.
Setelah hampir setahun enam bulan belajar daring alias dari rumah masing-masing, mulai 1 September 2021, sekolah-sekolah yang telah memenuhi persyaratan protokol kesehatan (prokes) kembali menggelar kegiatan belajar-mengajar di sekolah secara tatap muka.
Inilah momen yang dirindukan itu. Bukan hanya dirindukan guru dan murid. Momen ini juga menjadi obat penawar bagi kecemasan para orangtua.
Coba kita bayangkan. Metode pembelajaran secara daring, apalagi bertahun-tahun lamanya, menimbulkan dampak negatif yang tidak sedikit. Untuk sekadar contoh, ekses negatif belajar secara daring ini membuat anak berisiko putus sekolah lantaran terpaksa bekerja demi membantu perekonomian keluarga.
Capaian belajar anak juga menurun, karena materi pelajaran yang diajarkan guru tidak maksimal. Lebih parah lagi, berada di rumah setiap hari, membuat anak berpotensi jadi korban kekerasan rumah tangga. Masalah serius ini, tentunya tidak terdeteksi oleh guru.
Keterbatasan gawai dan kuota internet sebagai fasilitas penunjang belajar daring juga menjadi masalah serius. Bahkan, anak berisiko kehilangan pembelajaran atau learning loss. Belajar di rumah membuat anak jadi kurang bersosialisasi. Anak cenderung individualistis.
Bukannya belajar, fasilitas gawai yang ditunjang akses internet membuat anak hobi main game. Bahkan, anak berpotensi mengakses situs-situs dewasa tanpa pengawasan orangtua. Kalau itu yang terjadi, alih-alih anak tambah pintar. Anak justru makin bodoh karena abai terhadap waktu belajar.
Kita mengakui, setiap metode pasti menimbulkan dua sisi yang berseberangan. Metode belajar secara daring bukan berarti tak ada sisi positifnya. Misalnya, anak memiliki banyak waktu di rumah bersama keluarga. Anak belajar secara variatif dan cepat beradaptasi dengan perubahan. Metode belajar secara daring juga membuat anak harus mengeksplorasi teknologi.
Meski begitu, sampai saat ini, belum ada kajian ilmiah yang menyatakan belajar secara daring lebih sangkil dan mangkus ketimbang belajar secara tatap muka. Itu sebabnya, kita yakin, belajar secara tatap muka lebih mustajab dalam mendidik para generasi penerus bangsa ini.
Untuk itu, sudah sepantasnya pula kita mendukung kebijakan Pemkab Madina menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar di sekolah secara tatap muka.
Dukungan kita, tentunya tidak cukup sebatas retorika. Kita harus berbuat dan berperan nyata. Sebagai orangtua, kita harus cerewet mengingatkan anak-anak kita untuk taat memakai masker, rajin mencuci tangan, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan.
Dengan mengingatkan standar protokol kesehatan, itu berarti kita telah mengedukasi anak-anak agar terbiasa hidup di era normal baru ini. Memakai masker dan rajin mencuci tangan tak hanya efektif menangkal virus Corona. Tapi, juga ampuh mencekal polutan dan bakteri merasuk ke dalam tubuh anak. Dengan kebiasaan-kebiasaan baru itu, kita berharap anak-anak kita bisa tumbuh sehat. Muaranya, anak-anak kita dapat belajar dengan nyaman.
Bukankah di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat? Bukankah kebersihan itu sebagian dari iman.
Untuk itu, kita wajib hukumnya mendukung pemerintah dalam menjalankan pembelajaran secara tatap muka di tengah pagebluk Covid-19 ini. Dengan dukungan itu, kita berharap senantiasa Indonesia sehat, Indonesia tumbuh, dan Indonesia kuat. (SIR)
The post Kembali ke Sekolah first appeared on Start News.