Saat ini, membawa uang kertas asing tak bisa lagi sembarangan. Pasalnya, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 20/2/PBI/2018 yang membatasi individu atau badan berizin membawa uang kertas asing dalam jumlah besar atau maksimal senilai Rp1 miliar. Jika melanggar, maka siap-siap dikenai sanksi berupa denda maksimal Rp300 juta.
Direktur Departemen Pengelolaan Devisa BI, Rudi Hutabarat mengatakan, pengetatan dilakukan karena berpotensi menambah tekanan terhadap nilai tukar, menimbulkan dampak psikologis yang mempengaruhi ketidakstabilan nilai tukar rupiah dan kebutuhan harmonisasi dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan UU Mata Uang.
Disebutnya, kebijakan BI yang menerbitkan ketentuan mengenai transaksi Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) utamanya memang mendukung upaya peningkatan stabilitas nilai tukar rupiah. “Juga mempercepat pendalaman pasar valuta asing (valas) domestik dan memitigasi risiko nilai tukar rupiah,” kata Rudi Hutabarat saat Sosialisasi Ketentuan Pembawaan Uang Kertas Asing ke dalam dan ke luar daerah pabean Indonesia, di Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Sumut, Medan, Selasa (2/10).
Latar belakang pengaturan PBI pembawaan uang kertas asing adalah tingginya aktivitas pembawaan uang kertas asing ke dalam dan luar daerah pabean Indonesia. Kemudian, belum terdapatnya data atau informasi mengenai pembawaan uang kertas asing lintas batas, dan belum terdapatnya instrumen untuk mengendalikan pembawaan uang kertas asing ke dalam dan luar daerah pabean Indonesia.
Dengan adanya PBI tersebut, kata Rudi, diharapkan dapat mendukung efektivitas kebijakan moneter serta memperoleh informasi terkait dengan motif (underiying). Selanjutnya, BI memiliki instrumen untuk mengendalikan pembawaan UKA ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia dan bisa mendukung efektivitas UU TPPU dan UU tentang mata uang rupiah di Indonesia. “Dengan PBI ini, akan diketahui juga data pembawaan uang kertas asing, seperti volume, pergerakan dan lain-lain. Kemudian mengetahui pelaku pembawaan uang kertas asing dan mendukung efektivitas kebijakan BI,” jelas Rudi.
Dia juga menjelaskan, sanksi atas pelanggaran PBI Pembawaan UKA tersebut antara lain dari sanksi denda, sanksi administratif dan sanksi lainnya berupa rekomendasi kepada otoritas berwenang untuk dapat dikenakan sanksi.
Disebutnya, semua pihak yang tidak memiliki izin atau persetujuan pembawaan UKA termasuk individu, dikenakan denda 10 persen dari seluruh UKA yang dibawa, maksimal Rp300 juta. Begitu juga Badan Berizin yang membawa UKA melebihi jumlah UKA yang disetujui BI dikenakan denda 10 persen dari selisih jumlah antara UKA yang di bawa dengan yang disetujui BI, maksimal Rp300 juta.
“Hanya badan berizin yaitu bank dan Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (KUPVA BB) yang telah memperoleh persetujuan BI yang dapat melakukan pembawaan UKA lintas batas di atas Rp1 miliar,” tutur Rudi.
Rudi juga mengungkapkan, ketentuan PBI Pembawaan uang kertas asing tersebut tidak dimaksudkan untuk melakukan kontrol devisa, namun lebih kepada pengaturan dari sisi lalu lintas pembawaan uang kertas asing (tunai). “Pihak-pihak yang ingin membawa mata uang asing di atas Rp1 miliar dapat dilakukan melalui instrumen nontunai,” pungkasnya.
Sementera itu, Direktur BI Kantor Perwakilan Sumut, Hilman Tisnawan mengatakan, peraturan ini diciptakan untuk mendapatkan data atau informasi mengenai pembawaan uang kertas asing lintas batas dan belum terdapatnya instrumen untuk mengendalikan pembawaan uang kertas asing lintas batas tersebut.
“Hal tersebut bisa menimbulkan beberapa masalah yaitu berpotensi menambah tekanan terhadap nilai tukar, menimbulkan dampak psikologis yang mempengaruhi ketidakstabilan nilai tukar rupiah dan kebutuhan harmonisasi dengan UU tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan UU mata uang,” kata Hilman.
Diharapkan juga BI memiliki instrumen untuk mengendalikan pembawaan UKA ke dalam dan ke luar daerah pabean Indonesia, serta mendukung efektivitas UU TPPU dan UU tentang mata uang rupiah di Indonesia. “Kebijakan ini diharapkan dapat mendukung efektivitas kebijakan moneter, memperoleh informasi terkait dengan motif (underlying),” tandasnya.(gus)
Sumber : Sumutpos.co